Bernadino de Espirito Santo tiba di kota itu dalam usia yang masih muda, baru menginjak kepala dua lebih sedikit. Bergairah, punya sedikit uang untuk mulai menuntut ilmu di salah satu Kampus, dan menyiapkan hati seluang-luangnya untuk cinta-cinta yang diam-diam didoakannya untuk segera datang dan tumbuh berbuah semontok dan semolek mungkin.
Dari kampung, lama menjadi petani kopi sebelum akhirnya punya uang untuk sekolah. Ia adalah pribadi yang gampang sekali tertawa. Memang, udara dingin di gunung-gunung, tempat moyangnya entah pada masa kapan memulai usaha perkebunan kopi, hanya bisa terusir dengan hati yang pandai berlelucon. Lelucon yang polos, yang tak usah dibeli dengan paket data di video-video di internet.
Sayang sekali, anak-anak kota sudah dididik (yang jelas bukan oleh guru BP dan guru sekolah minggu mereka) untuk memandang orang dari daerah yang lebih terpencil sebagai liyan yang pantas dianggap remeh, didominasi, dan memang layak untuk dilecehkan. Bernadino de Espirito Santo bertubuh pendek, kurus, dengan tulang muka yang tegas dan rambut hitam yang ikal dan kulitnya yang gelap. Tak jelek, tapi masih jauh dari tampan.
Sepertinya hanya ada dua mekanisme kategori bagi anak-anak kota, soal tampang, yaitu jelek ya jadi pelawak dan wajib menerima semua perudungan, rupawan ya jadi sosok yang aman dan beruntung. Semua yang berada di tengah-tengah bersiaplah untuk dipaksa-paksa masuk ke dalam salah satu kategori tadi.
Mereka suka memaksa? Ya, maklumlah mereka lebih doyan main medsos daripada baca buku. Mereka lebih doyan lihat video prank bermutu kecoa ketimbang sedikit bergeser melihat hal-hal mendidik di gawai canggih hasil merengek pada orang tua itu. Kapasitas mereka untuk berpikir kritis cukup mengkhawatirkan.
Maka, dengan tampangnya yang periang itu dengan mudah Bernadino de Espirito Santo membaur dalam pergaulan. Beberapa kawan kampusnya yang pada dasarnya adalah orang-orang jahil dan suka memanfaatkan teman yang punya uang mulai datang mendekatinya. Mereka mengajaknya makan, minum-minum dan nongkrong di kantin kampus berlama-lama. Ia senang. Sekarang sudah punya banyak kawan.
Semua berawal baik, hingga lama kelamaan ia selalu menjadi sasaran ejekan. Logatnya yang aneh menjadi bahan candaan yang diceritakan dengan cara mengolok yang makin lama makin kasar. Bernadino de Espirito Santo malah senang, baginya bercanda dengan gaya brutal adalah tanda keintiman.
Hati gunungnya bermekaran, ia membalas dengan mengejek logat dan perangai stereotip etnis kawan-kawannya yang memang secara nasional sering dipakai sebagai bahan untuk merudung . Anehnya gagal. Mereka seperti tak terima. Saling mengejek makin menjadi. Beberapa bahkan sudah mulai tersinggung. Situasi menjadi aneh dan semua diam-diam mencari alasan untuk segera pulang.
Dalam minggu itu, beberapa kali mereka nongkrong bersama lagi. Polanya selalu sama. Dari ajakan awal yang bernuansa akrab, lalu mulai saling mengejek. Pada pertemuan ketiga, Bernadino de Espirito Santo sedikit mabuk. Ia mengejek ayah seorang kawannya, setelah orang itu duluan mengatakan ibunya adalah seorang pelacur. Tiba-tiba saja orang itu maju meninju Bernadino de Espirito Santo. Pukulan anak kota yang terlalu banyak masturbasi itu tak punya efek berarti bagi Bernadino de Espirito Santo.
Ia pernah sendirian mengusir perampok-perampok yang mau mencuri panenan kopinya. Jimat kakaluk membuatnya kebal. Mulanya dia agak ragu menghajar pemuda-pemuda manja yang sering minta jatah bobok siang gratis dari pacar-pacar mereka itu. Tapi naluri gunungnya bergerak lebih cepat. Mereka mulai mengeroyoknya. Rata-rata berhasil dia tinju. Jimatnya membuat tenaganya berlipat ganda. Dua orang roboh. Asam lambung mengalir dari mulut mereka. Beberapa mulai takut dan mundur. Bernadino de Espirito Santo roboh juga, kalah jumlah, ketika salah seorang menghajarnya dari belakang dengan kursi kayu.
“Cukup, kawan-kawan satu daerahnya banyak, nanti mereka bisa datang dan ngamuk-ngamuk di sini,” salah seorang melerai. Perkelahian berhenti setelah banyak mahasiswa datang. Beberapa mencoba mendamaikan tapi dua pihak masih terlalu tersinggung.
Dalam perjalanan pulang ke kos, sambil mengunyah akar kakaluk yang membuat pusing kepalanya segera hilang, Bernadino de Espirito Santo berpikir-pikir. Kenapa orang-orang yang dianggap kawannya bisa seaneh itu? Kenapa mereka boleh mengejeknya dan mencela-celanya tapi saat ia mencela balik mereka menjadi tersinggung? Dia menganggap mereka kawan, mereka menganggapnya bahan ejekan. Kenapa mereka tak terima?
Merasa menyesal, sedikit, sebab ia terlanjur merasa punya kawan, maka di sore itu Bernadino de Espirito Santo pun berkesimpulan, tak apalah kecewa sedikit, bukankah manusia tak hidup dari berkawan dan bercanda saja?
Ia akan berhati-hati memilih teman berdebat atau musuh, namun akan jauh lebih hati-hati lagi memilih teman bercanda. Berperang dengan musuh jauh lebih mudah ketimbang menghadapi kenyataan pahit dari kelakuan mengejutkan, merendahkan, oleh (yang sudah dianggap) kawan-kawan sendiri. ***
Penulis: Armando Soriano
0 Response to "Tentang Bully, Tentang Pertemanan"
Posting Komentar