Minimnya fasilitas publik tentunya bukan lagi menjadi persoalan
baru dan asing bagi kita. Pemerintah sibuk membangun dan mempercantik wajah
kota, sementara daerah-daerah pinggiran dan pedalaman selalu luput dari
perhatian. Seolah-olah yang menjadi warga negara hanyalah mereka yang tinggal
di kota, sementara bangsa Indonesia adalah kita semua, termasuk yang tinggal di
kampung.
Banyak fasilitas publik kita yang masih jauh dari kata
layak. Salah satu tantangan besar masyarakat yang tinggal di Desa Poto,
Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang dan sekitarnya adalah tidak adanya aksesibiltas
jalan yang layak untuk menuju ke Sulamu dan pusat kota.
Road of the Warriors. Sebuah kendaraan sedang menyeberangi sungai untuk sampai ke desa Poto. Jika turun hujan, sungai ini tidak bisa dilewati. Foto: Maria Goreti Ana Kaka. |
Jika ingin bepergian ke kota, masyarakat di wilayah ini harus
menyeberangi tiga sungai besar yang memiliki aliran cukup deras. Sungai yang
terlihat di foto ini merupakan sungai pertama yang akan dilewati bila kita akan
berangkat dari Sulamu menuju ke Poto.
Saat musim hujan, mereka harus bertaruh nyawa melawan
banjir. Sudah banyak warga yang meninggal dan hilang terbawa arus saat mencoba
menyeberangi sungai ketika banjir. Ada dua pasang calon pengantin yang
meninggal terbawa arus ketika hendak ke seberang untuk melaksanakan acara
peminangan.
Orang-orang menyusun bebatuan sebagai penanda jalur mana
yang paling aman untuk dilewati oleh kendaraan, sehingga tidak terseret
arus. Jika muatan terlalu berat,
sebagian penumpang harus turun dan berjalan kaki menyeberangi sungai.
Warga akan pergi dan pulang dengan aman jika hari tidak
hujan. Tetapi ketika hujan turun, warga harus ekstra hati-hati. Lebih sedihnya
lagi, saat hujan lebat, para warga sama sekali tidak bisa menyeberang demi
menjaga keselamatan.
Kondisi ini memang sangat memprihatinkan. Warga desa Poto
sebagian besar adalah petani. Mereka membutuhkan akses jalan yang layak dan
aman untuk bisa ke kota menjual hasil kebun mereka. Bagaimana mungkin kita bisa
membangun Indonesia dari pinggiran jika untuk melangkahkan kaki ke seberang
saja, warga desa masih harus beradu dengan maut?
Foto dan cerita: Maria Goreti Ana Kaka.
0 Response to "Bertaruh Nyawa di Desa Poto"
Posting Komentar