Hanya sehari sesudah mahasiswi
dan mahasiswa di Kupang merencanakan aksi (25/9/2019), tiga universitas di
Kupang mengeluarkan surat edaran ketidakterlibatan. Mereka adalah Universitas
Katolik Widya Mandira, Universitas Nusa Cendana, dan Universitas Muhammadiyah
Kupang.
Penekanan
pada surat itu umumnya sama, yaitu tidak terlibat, tidak mendukung, dan tidak
memperkenankan untuk menggunakan logo universitas – yang menggunakan akan
mendapatkan sanksi. Surat edaran dari Unwira sendiri mulanya keluar dengan
nomor surat yang salah, sebelum muncul kembali versi revisiannya.
Demonstrasi pelajar di Hobart, Australia. (Foto: ABC News/ Monte Bovill). Demonstrasi adalah hak konstitusional, bukan kejahatan. |
Sejak
negara ini berdiri, ada sangat banyak cara dan pendekatan dari universitas
untuk membungkam gerakan mahasiswa. Mari kita sebutkan beberapa. Silakan baca
dan bandingkan, sudahkah admin media sosial kampusmu menggunakan
pendekatan-pendekatan berikut?
Pertama, Pendekatan
Orangtua-Anak
Ini adalah pendekatan paling
tradisional di atas bumi ini. Dalam pendekatan ini, pihak kampus menempatkan
diri sebagai orang tua, dan memanggil mahasiswa dengan sebutan anak. “Kami ini
orang tua. Kalian adalah anak-anak kami. Kami menyayangi kalian.” Pendekatan
ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran tradisional yang melihat orang
tua sebagai pusat kebenaran. Mahasiswa dianggap masih anak-anak, dan diharapkan
menjadi anak yang patuh dan mendengar nasihat orang tua.
Kedua, Pendekatan Sok Bijak
Dalam pendekatan ini,
mahasiswa dianggap sebagai anak muda yang labil dan tidak bisa mengendalikan
diri. Jadi pihak kampus biasanya bilang: “Kendalikan diri, jangan cepat marah,
jangan reaksioner, dan sebagainya.” Dalam banyak hal, ini kerap dipengaruhi
asumsi masyarakat kita, bahwa demonstrasi sama dengan bikin rusuh, bikin ricuh,
dan kekacauan lain, yang kadang dengan bego mereka sebut sebagai anarkis.
Seperti dalam pendekatan pertama, di sini tidak ada dialog yang sejajar antara
mahasiswa dengan pihak kampus. Mahasiswa dianggap anak-anak yang nakal dan
belum bisa mengendalikan diri, kampus adalah sumber kebenaran.
Ketiga, Pendekatan Iming
Prestasi
Dalam pendekatan ini,
mahasiswa diingatkan untuk belajar lebih giat demi meraih prestasi dan gelar
sarjana. Terkadang, mahasiswa akan diingatkan kepada orang tuanya. Kalimatnya
seperti: “Orang tua ada kerja setengah mati di kampung, lu datang ko
demo-demo.” Mereka lupa, tanpa perlawanan orang muda, tidak ada sumpah pemuda.
Kalau mahasiswa hanya belajar saja tidak urus negara, tidak ada reformasi.
Keempat, Merasa Mahasiswanya
Bodoh
Terkadang, di mata pejabat
kampus, mahasiswa adalah anak yang bodoh. Pihak kampus berasumsi bahwa
mahasiswa berdemonstrasi tanpa membaca dan memahami substansi persoalan yang
diperdebatkan. Karena merasa tidak pernah membahasnya di kelas, mereka pikir
mahasiswa tidak tahu apa-apa. Mereka lupa, mahasiswa biasanya belajar lebih
banyak hal di balik tembok kampus. Mahasiswa punya kelompok diskusi
(terimakasih untuk reformasi), punya internet dan punya banyak teman. Kadang
kampus hanya mengajarkan hal basi yang tidak dipakai di dunia nyata.
Tambahan kecil yang tidak
kalah penting, agar kita tidak hanya menghakimi mahasiswa perihal tidak membaca
sebelum bergerak: Rektor Unwira sempat menandatangani surat edaran resmi, yang
nomor suratnya salah. Apakah pastor rektor membaca surat itu, atau langsung
bergerak menandatanganinya saja?
Kelima, Merasa Mahasiswa Hanya
Korban Provokasi
Ini biasanya tergambar dalam
kalimat “Kamu jangan ikut-ikutan, ya?”, “Jangan cepat terpengaruh!”, dan seterusnya. Sepertinya ini adalah
akumulasi dari poin-poin di atas, di mana mahasiswa dianggap hanya anak kecil,
bodoh, labil, tidak bisa berpikir mandiri, dan lain seterusnya.
Keenam, Ngotot
Dalam pendekatan ini, secara
gamblang kampus melarang mahasiswa untuk ikut aksi. Cara ini dipakai ketika
mereka kehabisan argumentasi halus untuk membungkam. Son tau omong apa lai,
mulai maen kasar. Biasanya berbunyi: “Dilarang keras untuk...”, “Jangan
sekali-kali turun ke jalan!” dan seterusnya. Juga, kalau sesudah ada demo,
mereka akan hina-bully-caci-maki mahasiswa di status-status facebook maupun di
ruang kelas. Kadang tanpa alasan, kadang ada saja alasan. Banyak ciptakan sampah
na, bikin ricuh na, pokoknya banyak alasan, yang pada intinya mau suruh
mahasiswa diam, jang banyak omong, karena menganggap “lu tu masih ana kici
bodo”.
Coba
cek akun facebook dari alumni, dosen, admin/humas kampus dari universitasmu.
Apakah mereka sedang berusaha membungkammu? Pendekatan manakah yang mereka
pakai? Atau ada gaya baru lagi?
Seruput
dulu sopi kepalanyaaaa!
Penulis: Felix Nesi
Baca Juga: Apa Untungnya Mahasiswa Kupang Demonstrasi?
0 Response to "Bagaimana Kampus Membungkam Mahasiswi-Mahasiswa"
Posting Komentar