Salah satu keluarga jauh saya,
anak kampung yang ke Kupang untuk kuliah, mengirimkan kepada saya link berita,
yang isinya mempertanyakan mengapa mahasiswa di Kupang diam saja saat mahasiswa
lain di negeri ini sedang demonstrasi. Dengan bahasa lebay. Saat negara sedang
kritis dan membutuhkan mereka, ke mana mahasiswi-mahasiswa Kupang?
“Kaka, kenapa saya harus bergabung dengan
aktivis dong ko ikut demo? Saya kan ke Kupang hanya untuk kuliah, untuk jadi
sarjana; untuk bisa bekerja dan membahagiakan keluarga,” anak muda itu bertanya.
Saya baca berita itu. Dan saya
paham kenapa adik saya ini, yang datang ke Kupang hanya untuk kuliah, jadi
tersinggung dan merasa perlu membela diri.
Saya
tunjukkan beberapa draft RUU yang sedang ramai ditolak mahasiswa. Juga sikap
pemerintah menghadapi beberapa kasus, seperti Papua, pelanggaran HAM, kabut
asap, dan lain-lain. Di beberapa tempat, gelombang demonstrasi mahasiswa sedang
tidak terbendung. Mahasiswa di Jogja kumpul di Gejayan. Mahasiswa di Malang
kumpul di depan Balai Kota. Di Jakarta kumpul di depan DPR. Makassar, Lampung, dan
lain-lain.
Aksi Mahasiswa #GejayanMemanggil, 23 September 2019. (Foto: Edwin V. Suot - diolah) |
Adik
saya ini berkata lagi: “Kaka, saya pu dosen dong bilang jang ikut-ikut demo.
Lebih baik kuliah, cepat lulus, cari kerja, supaya keluarga bahagia. Kenapa
saya harus ikut demo?”
Benar,
saya jawab. Tugas mahasiswa adalah belajar. Terlebih kita yang datang dari
kampung: Apa lagi yang bisa kita banggakan selain semangat belajar dan
prestasi-prestasi?
Saya
juga biasa malas demonstrasi. Teriak-teriak. Panas. Belum kalau polisi kejar.
Tapi
di hari-hari ini, situasi membuat kita harus turun ke jalan. Korupsi di
mana-mana – bahkan menteri melakukan korupsi, dan lembaga anti-korupsi dibatasi
kerjanya. Masalah di Papua berlarut-larut, ada banyak orang yang mati bahkan
saat kita sedang berbicara ini. Aktivis dibunuh, pembunuhnya tidak kunjung
tertangkap. Pelanggar HAM berat ketawa-ketawa di samping presiden.
“Itu
masalah bangsa, bukan masalah saya,” anak muda itu menjawab. “Itu persoalan
orang pintar di kota sana. Biar mereka yang urus. Mungkin akan jadi perhatian
aktivis dan anak-anak organisasi. Tapi maaf, Kaka, saya bukan aktivis. Saya
juga tidak masuk di organisasi apa-apa."
Saya
jawab: Kau mau masuk organisasi atau tidak, Undang-Undang
berlaku untuk semua. Jika RUU ini disahkan, maka, kalau kau punya tetangga
sakit dan mati, dan dia pu keluarga tuduh bilang kau pu bapak yang suanggi,
maka kau punya bapak bisa masuk penjara 3 tahun.
Kalau
kamu pu ayam di rumah terlepas, masuk pi orang pu kebun dan makan buang jagung,
kau pu bapak bisa kena penjara.
Kalau
tiba-tiba petugas datang di kamu pu rumah, dan bilang itu bukan kamu pu tanah,
tapi itu tanah milik negara. Dan kau pu bapak jawab dong bilang itu kamu pu
tanah turun-temurun, kau pu bapak bisa masuk penjara atau denda 500 juta.
Saya
kasih lihat dia itu pasal-pasal. Saya kirimkan link tulisan yang bicarakan
masalah itu, seperti Editorial Tirto: Kami Bersama #GejayanMemanggil, Imparsial Kritik 4 Pasal dalam RUU Pertahanan Negara,
dan lain-lain.
Dia
baca lama.
Terus
dia bilang: “Wah, banyak sekali ya hal buruk yang pemerintah buat? Yang DPR
buat? Kayaknya mereka ada sedikit khilaf ini. Kayaknya saya harus ikut aksi
untuk beri peringatan. Tapi…” dia diam sebentar, “orang bilang, ini aksi ni
ditunggangi kepentingan tertentu ko?”
Saya
tertawa.
“Setiap
aksi pasti berpotensi ditunggangi. Nah, kalau kau mau ikut aksi itu, pastikan
bahwa tidak ada yang jadikan kau tunggangan. Pelajari masalahnya. Kuasai
materi. Bikin batasan yang jelas. Kalau orasi, jangan blunder ke mana-mana."
“Wah,
saya tidak tahu orasi, Kaka. Tapi kalau polisi pukul kermana?”
“Kasih tau itu polisi. Jangan main pukul. Demonstrasi itu adalah hak setiap masyarakat. Polisi harus mengayomi seluruh rakyat. Bukan membela bapak-bapak DPR. Jangan takut kepada polisi, terlebih jika kau benar."
Dia
angguk-angguk saja. Sambil terus melihat bacaan-bacaan yang saya kasih.
Sebentar kemudian dia bergabung dengan para demonstran. Mereka berbagi tulisan,
mendiskusikan ide-ide, dan membuat properti untuk demontrasi. Mereka akan
menyuarakan aspirasi sebagai manusia merdeka. Manusia yang membaca, berdiskusi,
dan bergerak. Manusia yang tidak diam saja di depan ketidakadilan. Tapi tidak
juga demo untuk sekadar gaya-gayaan atau ikut-ikutan, apalagi memberi diri
untuk ditunggangi.
Saya
melihat ia, dan saya menjadi optimis. Masa depan kota ini akan cerah jika
anak-anak muda membaca dan bergerak – memberi ingat kepada setiap kita yang
nyaman menjadi tua dan tak mau lagi dikoreksi.
Demonstrasi tidak sama dengan menjadi mahasiswa nakal yang hidup son teratur. Demonstrasi adalah kesadaran untuk menyuarakan aspirasi sebagai manusia merdeka.
Apa gunanya kau baca buku,
rajin masuk ke kelas, suka menulis puisi, punya banyak follower instagram, tapi
abai kepada persoalan sosial-masyarakat? Cas penuh HP-mu dan bergabung bersama teman-teman yang
turun ke jalan.
Bagaimana?
Apakah tulisan ini sudah seburuk tulisan Deny?
Seruput
dulu sopinyaaa!
thankyuu
BalasHapus