Kupang, LekoNTT.com – Akhir-akhir
ini relokasi masyarakat yang mendiami Pulau Komodo, ramai diperbincangkan. Relokasi
ini bermula dari wacana penutupan setahun yang diinginkan oleh Gubernur Nusa
Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat. Menyikapi wacana tersebut, Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) NTT menilai itu sebagai sebuah kekeliruan besar, sebab
tidak memiliki alasan yang kuat untuk diterima oleh publik. Tujuan dari revitalisasi
Pulau Komodo tentunya untuk kepentingan pariwisata yang menjadi mimpi besar
Gubernur NTT.
Untuk diketahui,
berdasarkan Permen LHK Nomor 07 Tahun 2016 menjelaskan bahwa unit pengelolahan
penyelenggaraan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, berada di bawah
dengan bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistem. Dengan demikian pemerintah daerah tidak dapat mumustuskan apa
yang akan terjadi pada Taman Nasional Komodo (TNK).
Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur WALHI NTT (Foto: Ist.) |
Penutupan
Pulau komodo dilakukan untuk menata ketersediaan pangan bagi Komodo agar reptil
raksasa tersebut tidak lemas. Selain itu untuk menata taman bunga agar terlihat
lebih indah. “Dengan dua alasan ini saja kita dapat melihat secara jelas spiritnya
bukan untuk pelestarian Komodo, tetapi bagaimana menyiapkan Komodo sebagai
obyek yang punya nilai jual untuk kepariwisataan,” ungkap Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur WALHI NTT.
Terkait
dengan penduduk liar seperti yang disampaikan oleh Gubernur NTT, tidak dapat
dibenarkan. Pernyataan itu tentu membuat masyarakat yang selama ini tinggal
dan membangun kehidupan di Pulau Komodo tidak memiliki hak milik atas tanah,
sebab Pulau Komodo telah ditetapkan sebagai TNK.
Jika
dirunut ke belakang (historis), maka jelas bahwa sebelum penetapan TNK, Pulau Komodo
merupakan hak ulayat masyarakat setempat. Setelah ditetapkan, masyarakat yang
menetap di sana dianggap sebagai penduduk liar, sangat miris.
“Kalau
Gubernur merasa bahwa masyarakat tersebut tidak memiliki hak, maka Negara sudah
sepatutnya mencabut status kawasan TNK dari wilayah-wilayah yang selama ini
menjadi pemukiman masyarakat di dalam kawasan TNK itu.” Pelestarian Komodo
tidak perlu dilakukan dengan cara merelokasi masyarakat yang hidup di sana, sebaliknya
masyarakat tersebut harus menjadi benteng terkuat dalam upaya pelestarian reptil
purba tersebut.
“Hal
ini penting sebab yang pertama, di NTT sendiri kita tidak memiliki ahli Komodo
(peneliti, red). Namun masyarakat
tersebut secara alamiah tahu bagaimana seluk-beluk kehidupan Komodo sehingga
penting untuk peran serta masyarakat dalam pelestarian Komodo. Yang kedua,
selama ini masyarakat yang hidup dalam Pulau Komodo tahu bagaimana hidup
berdampingan dengan Komodo. Berdasarkan keyakinan masyarakat Pulau Komodo, ada
hubungan antara manusia dan komodo sehingga mereka memperlakukan Komodo dengan
baik.”
Oleh sebab
itu, WALHI NTT mengharapkan wacana terkait relokasi masyarakat yang hidup di Pulau
Komodo perlu dikaji lebih dalam. Sebab hal-hal yang selama ini ketergangguan
akan keberadaan Komodo adalah hal-hal yang bukan berasal dari masyarakat.
Justru faktor pengganggu kelestarian Komodo selalu datang dari luar.
Maraknya
pembangunan pariwisata dan target kunjungan wisatawan yang begitu tinggi
berpotensi mengganggu kelangsungan hidup Komodo.
Sudah tentu reptil purba itu akan terusik, sebab Komodo memiliki sifat soliter
yang selalu ingin menjauhi keramaian.
Selain itu maraknya penjualan Komodo juga merupakan hal yang
dapat mengancam kelestarian Komodo. Sebagaimana disinyalir, penjualan Komodo melibatkan
jaringan internasional sudah terjadi dari waktu ke waktu.
“Kita dapat menilai bahwa ada pembiaran terhadap aktivitas
ini. Dalam hal ini tentu yang bertanggungjawab adalah TNK sebagai pengelola.
Hal ini juga membuktikan bahwa pengelola tidak serius mengurus TNK. Lalu apa
alasan yang kuat untuk merelokasi masyarakat dari Pulau Komodo? Tentu tidak ada
alasan yang dapat kita jadikan sebagai dasar dari kebijakan merelokasi penduduk
masyarakat yang hidup dalam Pulau Komodo.”
Keberadaan
Komodo sampai hari ini adalah bukti bahwa masyarakat Pulau Komodo mampu hidup
berdampingan dan menjaga kelestariannya. “Kita tentu mendukung pelestarian Komodo,
tapi bukan model pelestarian yang memutuskan hubungan antara manusia dengan
alam yang kita inginkan.” (red.)
Jngn biarkan hal itu terjadi
BalasHapus