Akhir-akhir ini
razia buku yang diduga berhaluan ‘kiri’ marak terjadi di beberapa daerah di
Indonesia. Pada akhir Desember 2018, razia buku terjadi di Kota Kediri, Jawa
Timur yang dilakukan oleh aparat TNI dari Kodim 0809 Kediri. Razia tersebut
dilakukan setelah aparat bersangkutan mendapat laporan dari warga setempat.
Sebanyak ratusan judul buku yang berhasil dirazia sebagaimana dilansir BBC News dalam artikel berjudul Razia buku: Mengapa buku-buku kiri menjadi
sasaran (9/1/2019). Beberapa di
antaranya, Manifesto Partai Komunis, Catatan Perjuangan 1946-1948, Gerakan 30 September dan Oposisi Rakyat.
Berselang dua
minggu, razia buku terjadi lagi di Kota Padang, Sumatera Barat, tepatnya 8
Januari 2019. Razia tersebut melibatkan apparat gabungan TNI, POLRI dan
Kejaksaan Negeri. Terdapat enam eksemplar dari tiga judul buku yang dirazia,
antara lain, Mengincar Bung Besar: Tujuh
Upaya Pembunuhan Presiden Sukarno, Kronik
65 dan Jasmerah.
Lima bulan setelah
peristiwa itu (27 Juli 2019), aksi yang sama dialami dua mahasiswa asal Jawa
Timur yang tergabung dalam Komunitas Vespa Literasi. Lagi-lagi, razia dilakukan
oleh aparat POLRI dari Kepolisian Sektor Kraksaan, Probolinggo, Jatim dan
didukung oleh MUI. Sesuai laporan reporter Tirto.id
dalam artikel berjudul Razia Buku Sudah
Dilarang, Kok Pembawa Buku DN Aidit Ditangkap? ada beberapa buku yang
berhasil ‘direbut’ antara lain, D.N.
Aidit: Sebuah Biografi Ringkas, Aidit:
Dua Wajah Dipa Nusantara, Menempuh
Djalan Rakjat D.N. AIDIT dan Marxisme
& Leninisme.
Setelah seminggu,
publik terutama di dunia maya dihebohkan lagi oleh beberapa oknum yang
mengatasnamakan Brigade Muslim Indonesia, ini bukan aparat keamanan seperti TNI
dan POLRI. Beberapa buku yang berhasil disita, seperti dimuat di Tirto.id (2/8/2019) adalah Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran
Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka dan Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme. Kedua buku tersebut ditulis oleh Franz Magnis-Suseno, Pastor,
Budayawan dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Beberapa kasus di
atas menjadikan literasi baca-tulis di Indonesia ‘berwajah’ melankolik. Buku
bukan lagi menjadi teman setia bagi setiap mereka yang ingin hidup secara
beradab. Ialah mereka yang senantiasa merawat ingatan dengan membaca dan
menulis. Sebagai actus, membaca tentu bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi
tidak bagi aktivitas menulis.
Ditilik dari
beberapa judul yang ada, maka dapat diketahui bahwa buku-buku tersebut meyimpan
catatan panjang dan mendalam tentang sebagian sejarah di ini negeri. Bukankah
adanya Negara tidak terlepas dari situasi historis? Bagaimana mungkin sebuah
bangsa mengetahui seluk-beluk adanya Negara yang tengah dihuni tanpa membaca?
Sudahkah bangsa di ini negeri menghargai para pemikir dan penulis yang
menjadikan mereka sangat beradab?
Buku-buku yang
memuat catatan sejarah, berhasil dirawat oleh oleh para penulis yang mencintai
ingatan. Cara mereka mencintai bukanlah sebuah imajinasi belaka, sebagaimana
ketika Anda membaca karya-karya fiksi sampah yang mengandalkan romantisme
belaka. Ketahuilah bahwa cinta yang mereka wujudkan itu melalui riset
bertahun-tahun, data dikumpulkan, diolah, otak diperas dengan seperangkat teori
dan kemampuan menulis mumpuni, hingga akhirnya menjadi sebuah buku.
Lantas bagaimana
cara kita menghargai buah pikir dan usaha kreatif para penulis? Cukuplah dengan
membaca, kalau tidak punya selera, baca buku lain saja, bukan dengan cara
menjarah, menghancurkan, merazia atau sejenisnya. Sangat disayangkan, ketika buku-buku
direbut tanpa proses dan alasan masuk akal apalagi tidak dibaca.
Bagaimana Seharusnya Mereka Bertindak?
Tanggapan dari
berbagai pihak terkait razia buku yang marak terjadi, menimbulkan kecurigaan
publik terhadap oknum-oknum tersebut. Kecurigaan itu bisa kita simpulkan dalam
sebuah pertanyaan mendasar: Sudahkah
mereka baca buku-buku yang dirazia?
Pertanyaan
sekaligus kegelisahan itu muncul sebagai akibat dari kurangnya pemahaman dari
pihak-pihak yang melakukan razia. Buku-buku yang diduga memuat paham ‘kiri’
dirazia tanpa suatu proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Mereka bertindak
sewenang-wenang tanpa alasan yang mampu diterima nalar sehat (orang-orang
beradab).
Sejauh ditelusur,
mereka hanya melihat tampilan buku, baik judul, warna cover maupun ilustrasi.
Hal terpenting yang luput dari perhatian adalah isi buku. Dapat disimpul,
pihak-pihak yang melakukan razia itu, sebelumnya memang tidak membaca isi buku
samasekali.
Tidak membaca
bukan berarti tidak paham, juga bukan berarti oknum-oknum tersebut tidak tahu
membaca, ini kan namanya sin namkak!
Tindakan itu justru dilandasi oleh pemahaman lebih tentang paham-paham
berhaluan ‘kiri’, sayangnya dibangun di atas fanatisme yang berlebihan.
Fanatisme dalam
paksaan ego menjadikan mereka bertindak tanpa suatu pertimbangan matang, juga
tanpa melalui proses yang diamanatkan dalam peraturan. Jika kemudian tindakan
itu didasarkan pada Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966 yang berisi tentang
Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan larangan paham komunisme di
Indonesia dalam segala bentuk, Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 tentang
Perubahan Pasal 107 KUHP, maka tindakan itu sangat keliru.
Walaupun
produk-produk hukum tersebut tetap berlaku hingga saat ini, tetapi tindakan
tersebut tetap harus melewati proses yang tepat. Salah satu proses yang harus
ditempuh adalah seizin pengadilan sebaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada
13 Oktober 2010.
Dalam putusan itu,
MK menegaskan bahwa kewenangan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung sesuai Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/ 1963, bertentangan dengan konstitusi. Artinya,
segala pendekatan terhadap ancaman paham ‘kiri’ harus sesuai hukum yang
berlaku, bukan sebaliknya bertindak sewenang-wenang.
Menghancurkan Peradaban, Mematikan Geliat Literasi
Adanya sebuah buku
berkaitan erat dengan salah satu literasi dasar, yakni baca-tulis. Sebagai
literasi yang memiliki peran (fungsional), membaca dan menulis memampukan
seseorang memiliki pengetahuan dan kehidupan yang baik. Membaca tidak terbatas
pada aktivitas di tengah waktu luang, tetapi sebagai kebutuhan paling mendasar
bagi siapa saja. Demikian pun dengan menulis adalah respon atas segala realitas
masyarakat dan semesta.
Peradaban sebuah
bangsa hanya akan kokoh oleh kedua actus tersebut. Jika membaca adalah usaha
mendulang pengetahuan, maka menulis adalah usaha kreatif untuk ‘menyediakan’
ide atau pengetahuan itu sendiri. Upaya merazia buku-buku yang menyimpan
segudang pengetahuan, itu sama saja menghancurkan peradaban sebuah bangsa.
Fernando Báez
dalam bukunya Penghancuran Buku dari masa ke masa (terjemahan Lita
Soerjadinata) yang diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri (2013), menggambarkan
secara dramatis upaya penghancuran buku oleh para biblioklas (penghancur buku).
Báez di halaman
awal bukunya, menyuguhkan kepada pembaca sebuah kisah melankolik yang dialami
seorang profesor sejarah abad pertengahan di Bagdad. Profesor itu meratapi
peristiwa penjarahan dan penghancuran buku di perpustakaan Universitas Bagdad,
tempat ia mengajar. “Kenangan kita tidak ada lagi. Tempat lahir peradaban,
tulisan, dan hukum, musnah terbakar. Sisanya tinggal abu,” ungkap profesor tersebut
seturut kisah Báez (hal. 3).
Báez juga mengisahkan
sejarah penghancuran buku dari zaman Dunia Kuno, Byzantium sampai abad k-19, selanjutnya abad ke-20 sampai saat ini. Báez setelah
melakukan riset selama 12 tahun kemudian mencapai suatu kesimpulan bahwa para
penghancur buku adalah orang-orang terpelajar yang berupaya menyingkirkan
buku-buku oleh sebab tekanan mitos-mitos apokaliptis, depresif, perfeksionis,
egois dan cenderung berada dalam lembaga yang berada dalam kekuatan yang sedang
berkuasa (Báez, hal. 22).
Di Indonesia
sendiri, Airlangga Pribadi, Pengamat Politik dari Universitas Airlangga
menilai, razia buku terjadi sebagai akibat warisan Orde Baru yang membatasi
pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap sejarah negerinya sendiri. Aparat
ingin menjadikan paham tersebut sebagai mitos (BBC News, 9/1/2019).
Di lain pihak,
Romo Magnis yang beberapa bukunya juga turut disita menilai secara tegas, razia
buku sebagai tanda kebodohan besar dan kekurangajaran terhadap ilmu pengetahuan,
sebagaimana dimuat dalam artikel Tirto.id,
“Razia Buku Makassar: Beraksi karena Sampul Marx, tapi Tak Paham Isi”. Ia
mengganggap, orang-orang yang melakukan razia hanya ingin menyebarkan
kegelisahan akan adanya Leninisme dan Marxisme di Indonesia.
Tanggapan-tanggapan
tersebut tentu menyayangkan usaha penyingkiran buku dalam segala bentuk. Aksi
tersebut pun tanpa melalui proses yang sahih dan tidak dibenarkan. Penyingkiran
buku tidak lebih dari bayang-bayang ketakutan akan masa lalu dan vandalisme
yang berujung pada hancurnya peradaban bangsa.
Pemerintah dengan
dukungan dari berbagai komunitas literasi di Indonesia, bahkan kebanyakan
komunitas bergiat dan memilih jalan sendiri, semarak mengkampanyekan literasi
sebagai sebuah gerakan. Ada juga usaha beberapa komunitas yang peduli pada
literasi dasar itu, turun ke jalanan untuk mendekatkan bahan bacaan kepada
masyarakat.
Tantangan paling
besar yang sering dijumpai adalah terbatasnya bahan atau akses bacaan. Itu sebabnya para pegiat literasi berupaya
untuk membangun jaringan yang kiranya mampu mengatasi persoalan yang ada.
Dimana-mana, buku-buku didonasikan ke berbagai daerah (pelosok) di Indonesia.
Harapan besar akan
generasi Indonesia yang ‘melek’ baca, sudah ada. Jika kemudian ada usaha-usaha menghalangi
peredaran buku, tiada bedanya dengan mematikan geliat literasi itu sendiri.
Apalah arti dari Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?
Indonesia sebagai
bagian dari bangsa-bangsa di dunia, perlu mengetahui pemikiran-pemikiran dari
luar. Paham ‘kiri’ atau apalah itu, seperti Marxisme, Leninisme dan lainnya,
selagi dibaca sebagai usaha menambah pengetahuan tanpa praksis, hemat saya itu
bukan sebuah ancaman bagi ideologi bangsa dan Negara.
Membungkam Ke-MERDEKA-an
Ini hari, 17
Agustus 2019, seluruh lapisan masyarakat merayakan hari ulang tahun ke-74 Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hampir seabad Indonesia merdeka, di mana-mana,
lagu-lagu kebangsaan dikumandangkan, Merah Putih dikibarkan di tiang-tiang istana
hingga media-media sosial, nasionalisme dan patriotisme digaungkan, di balik
itu semua ada bayang-bayang ‘mencekam’.
Belum lama dan
mungkin akan terjadi lagi tindakan yang tidak beradab, adanya sebagai wujud bayang-bayang
itu. Ialah razia buku yang mengindikasikan adanya ‘kekuasaan’ yang lain. Masyarakat
seolah dikungkung kemerdekaannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas. Negara
melalui ‘kekuasaan’ itu, tidak lagi menjamin secara mutlak usaha warga Negara
untuk berpengetahuan lebih, kebebasan menampung ide, dibatasi. Sudahkah ini bangsa merdeka?
Jika Belanda dan
Jepang adalah masa kelam bagi Indonesia di masa lalu, maka di kekinian
Indonesia sebagai sebuah Negara tengah menjajah bangsanya sendiri dalam segala
bentuk. Selain kemiskinan, kesenjangan sosial, kriminalitas, dan lain-lain,
kebodohan juga menjadi salah satu masalah besar di ini Negara. Kebodohan itu
sendiri tidak terbatas pada orang-orang yang memang tidak memiliki pengetahuan
samasekali, tetapi ada pada mereka yang merasa pintar. Eh, bukannya harus
pintar merasa?
Kita boleh sepakat
dengan pernyataan Romo Magnis bahwa razia buku adalah tanda kebodohan dan
kekurangajaran terhadap ilmu pengetahuan. Lebih jauh dari itu, razia buku
menjadi upaya dari pembodohan terhadap bangsa, secara individu. Upaya pembodohan
inilah suatu bentuk hegemoni yang sebenarnya tengah dibangun dengan dalil ‘ancaman’
terhadap ideologi. Catatan riil di masa lampau dijadikan mitos yang tentunya
menghancurkan peradaban.
Razia buku, itu
usaha mendatangkan ancaman yang lebih besar. Semakin marak dilakukan, masyarakat
semakin ingin tahu akan paham-paham ‘kiri’. Tampilan fisik boleh saja dirazia,
disingkirkan dan dihancurkan, tetapi akan semakin banyak e-book yang tersebar di mana-mana, mudah diakses siapa saja. Apapun
tindakan itu, jangan sampai menghancurkan peradaban, mematikan spirit literasi
yang tengah dibangun dan menjadikan bangsa senantiasa dijajah. Merdeka!
***
Kupang, Agustus 2019
Herman Ef Tanouf
0 Response to "Razia Buku ‘Kiri’, Upaya Mematikan Geliat Literasi dan Membungkam Ke-MERDEKA-an"
Posting Komentar