Dua hari setelah perayaan kenang
hari ulang tahun ke-74 Republik Indonesia, tepatnya 19 Agustus 2019, jalanan di ibu-ibu kota macet, tidak ada
aktivitas ataupun pelayanan di kantor-kantor, beberapa sekolah diliburkan.
Semua turun ke jalan, menempuh jarak berkilo-kilo meter. Orang-orang masih
hanyut dalam perayaan kemerdekaan ini Negara dalam rupa karnaval.
Foto: akun Instagram PSSI
Agar bernilai estetis,
nasionalisme berbalut lokalitas, busana daerah dari berbagai etnis dikenakan,
sebut saja di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Actus itu dilabeli
karnaval budaya, demikian kebiasaan merayakan kemerdekaan dalam segala bentuk,
itu budaya!
Pandangan publik, merdeka itu
bebas dari segala belenggu, apapun itu (lupakan konsep ‘merdeka’ ala Putu
Wijaya). Drum band dari kelompok anak-anak hingga orang muda, bahkan kelompok aparat
keamanan, itu suara-suara – pekik kemerdekaan, semua merayakan kemenangan.
Saat yang sama, ada samasaudara di
beberapa kota di Papua juga turun ke jalan jalan. Masih sama, jalanan
macet-lumpuh total. Apa yang bikin beda?
Tiang-tiang listrik dirubuh-cabut,
kantor yang adalah rumah rakyat dibakar, rusuh dimana-mana. Itu bukan pekik
kemerdekaan, bukan pula karnaval berlabel budaya, tapi itu semua adalah pekik
kesakitan. Iya, mereka sakit, sakit hati yang paling!
Mengapa ada itu rasa sakit? Segala
kemugkinan bisa jadi ‘sebab’, tetapi dalam situasi yang demikian, sakit itu datangnya
dari sesama yang se-tanah air, sebangsa; hidup bersama sebagai saudara dalam dalam satu 'induk'. Eh, tapi induk kok 'bunuh' anaknya sendiri? Ada sekian catatan panjang kekerasan dan pelanggaran HAM di sana (baca: Pelanggaran HAM). Sesama, untuk beberapa saat dianggap musuh bahkan
disapa secara tidak beradab. Disadari atau tidak, nama-nama binatang menggantikan
nama manusia. Sungguh rasis!
Mungkin, semua itu akibat dari ego
dan amarah yang tak terkendali. Bisa saja dengan mudah kita berucap, tetapi
saat yang sama menimbulkan luka dan sakit, bahkan trauma berkepanjangan. Akibat
semacam ini tentu tidak kita inginkan bersama. Baiklah sebelum lanjut, mari, bersama
Franky Sahilatua melalui gema suara Edo Kondolangit, kita bernyanyi:
Tanah Papua
Tanah Papua tanah
yang kaya
surga kecil jatuh
ke bumi
seluas tanah
sebanyak madu
adalah harta
harapan
Tanah Papua tanah
leluhur
di sana aku lahir
bersama angin
bersama daun
aku di besarkan
Hitam kulit
keriting rambut, aku Papua
Hitam kulit
keriting rambut, aku Papua
Biar nanti langit
terbelah, aku Papua
dst….
Rasis,
Isyarat Superioritas dalam Bangsa yang Majemuk
Indonesia sebagai bangsa yang
besar, memiliki banyak suku, budaya, Bahasa, keyakinan, dan lain-lain yang
merupakan kekayaan bagi ini Negeri. Itu
sebabnya, persatuan senantiasa menjadi kebanggaan. Ya, kita patut berbangga
bahwa kemajemukan menjadikan kita satu, itu luar biasa.
Menjadi orang Indonesia ialah
suatu kebanggan lebih. Hidup bersama dalam satu rumah, yang sama. Hidup sebagai
saudari dan saudara, itu wujud persatuan. Anda dan saya sebagai bagian intim
dari bangsa Indonesia, memang sering merasa bangga, sebab ini negeri dihuni
bangsa yang besar, itu kita, di rumah kita.
Namanya juga rumah. Kadang, ‘piring dan gelas’ perlu dibunyikan (selagi tidak pecah), agar kita mampu mengerti lalu memahami arti dari persatuan itu sendiri. Namun keseringan bisa menjadikan kita dimangsa ego hingga actus yang menyata, bisa saja tidak beradab.
Keseringan itulah pertanda adanya
superioritas. Ada individu/ bangsa/ suku/ golongan tertentu ingin ‘melebihi’
yang lain. Artinya, bangsa yang majemuk selain sebagai wujud kekuatan, dalam
situasi tertentu dapat melahirkan ‘keterasingan’.
Peristiwa Papua menjadi satu
catatan penting bagi bangsa Indonesia untuk lebih berbenah lagi. Persatuan
tengah diguncang, oleh kita sendiri. Kita boleh sepakat dengan Ligia Judith
Giay bahwa “rasisme adalah masalah Indonesia, bukan orang Papua”, pernyataan
yang kemudian menjadi judul tulisannya di Tirto.id.
Ligia melalui pengalamannya mengisahkan
tentang bagaiamana orang Papua menghadapi berbagai stereotip (serba kekurangan)
sampai kemanusiaan pun harus dikoyak-koyak. Anggapan-anggapan ‘serba kekurangan’
terhadap orang Papua “dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda,
Indonesia hari ini mengulanginya”.
Ungkapan dan tindakan-tindakan
rasis dalam realitas digalakkan oleh kelompok-kelompok mayoritas (superior). Saat
ini dialami oleh saudari-saudara asal Papua, bisa saja esok dialami oleh semua
kita yang dianggap ‘minim’ dalam segala hal. Atau mungkin sudah terjadi dan
berlangsung lama, tapi luput dari perhatian? Entahlah.
Negara, dalam hal ini pemerintah
juga belum mampu mengatasi perselisihan yang ada. Masih lebih banyak kata
‘maaf’ dan sejenisnya yang selalu diserukan. Bahkan ada gejala ketakberpihakan
pemerintah terhadap teman-teman, korban rasis.
Salah satu contoh adalah
memperlambat akses internet (disinformasi) di Papua oleh Kemkominfo beberapa
waktu lalu. Hanya itu sajakah yang bisa
dilakukan pemerintah? Sudahkah para pelaku ujaran rasis ditindak tegas?
Sebagai bangsa yang majemuk,
keangkuhan dari pihak tertentu sering ditonjolkan. Peristiwa Papua bisa
mengukur sejauh mana kerendahan hati dan sikap saling menghargai sebagai
samasaudara.
Kita perlu ‘menanam, menumbuhkan dan memelihara’ sikap tersebut. Adalah mulia ketika individu-individu ataupun kelompok-kelompok terus menjadikan itu sikap sebagai spirit yang harus dibangun, bersama!
Pemerintah perlu rendah hati dalam
mengatasi masalah yang ada dengan tidak muluk-muluk melontarkan
pernyataan-pernyataan seremonial, demikian dengan masyarakat juga harus menyikapi
setiap masalah dengan tidak membuat situasi ‘memanas’. Semua pihak, termasuk
kita perlu ‘masuk’ ke dalam persoalan. Akar dari segala bentuk rasis perlu ‘dicabut’
dengan kebijakan yang berlaku. Memang berat, tapi itu keharusan! Sebab tindakan rasis bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik.
Keberpihakan
Media Massa, Jurnalisme Damai?
Kebanyakan orang terjebak dalam
berbagai stigma buruk tentang Papua, konyolnya beberapa media pemberitaan pun
kerapkali menjadikan itu sebagai sasaran pemberitaan. Disadari atau tidak,
media-media turut berkontribusi dalam ‘memancing’ rasisme di Indonesia.
Media-media yang tidak netral adalah
wujud superioritas yang lain. Media, khususnya jurnalis tampaknya mengabaikan
kode etik jurnalistik yang seharusnya memuat jurnalisme damai, sebagaimana dikemukakan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Kepentingan ‘mengejar klik’ menjadi
prioritas, minim referensi (data), lebih mengandalkan ‘hitz media sosial’.
Sayangnya, setelah ada seruan jurnalisme
damai, media-media tampak ‘takut’ untuk memberitakan peristiwa serupa. Di satu
sisi, persoalan ada pada konsep Jurnalisme Damai itu sendiri.
Eko Rusdianto, wartawan freelance
asal Makassar dalam artikelnya “Rasisme Papua dan Praktek Jurnalisme Damai” yang
tayang di Geotimes (24/8/2019) mengatakan
kalau para jurnalis mendapat instruksi dari redaksi untuk tidak memuat hal-hal sensitif.
Kekhawatiran Eko, justru para jurnalis lupa menggali akar masalah dan
mempertanyakan penanggung jawab kerusuhan.
Untuk diketahui, Eko dalam
artikelnya mengisahkan kerusuhan di asrama mahasiswa Papua, Makassar
(20/8/2019). Kaca, tembok dan atap asrama dihujam batu oleh sekelompok orang
diiringi seruan-seruan provokatif. Tiga hari pasca kerusuhan, media massa
nyaris tak memuat peristiwa tersebut. Apakah para jurnalis ada dalam
bayang-bayang Jurnalisme Damai?
Eko Rusdianto, wartawan freelance. (Foto: DestinAsian) |
Eko, ketika dikonfirmasi melalui
kontak pribadinya mempertanyakan adanya jurnalisme damai. “Saya tidak percaya
ada Jurnalisme Damai. Jurnalisme, bagi saya pakem tetap sama. Intinya adalah
verifikasi”.
Lebih lanjut ia mengatakan kalau
di kemudian hari Jurnalisme Damai dianggap sebagai genre baru, maka bisa jadi ada
Jurnalisme Lingkungan, Jurnalisme Sejarah, Jurnalisme Ayam, Jurnalisme Angin,
dan isme isme lainnya. “Kalau buat pakem baru di jurnalisme itu, ya jurnalisme
alam gaib toh. Wawancara dengan ruh, harus semedi, belajar ilmu dan mantra”.
Menurutnya, sejauh ini praktek
jurnalisme damai itu hanya mencari narasumber yang bisa berbicara adem, menceritakan
suasana kondusif, tapi melupakan fakta lapangan. “Di Makassar, ini sangat
kelihatan. Misalkan pertemuan Kapolda dengan mahasiswa, wartawan dilarang
masuk. Itu hal yang keliru”.
Ia mengharapkan, akses informasi ke
teman-teman Papua itu terbuka, kecuali jika teman-teman Papua yang tidak mau diwawancarai,
itu soal lain. “Di Makassar, kita tak dengar siapa penyulut bentrok? Polisi tak
membicarakan atau tak mau tahu”. Sangat memprihatinkan, media dan para pemangku
kebijakan seolah tidak berpihak kepada koban rasis.
Sebelum mengakhiri ini tulisan, bersama
Iksan Skuter kita berkata sembari bernyanyi: Papua Kucinta
Hitam kulitku bukan berarti kami dendam denganmu
di penjuru dunia tanah kami paling kaya
Papua Papua kucinta
Panah dan tombak bukan untuk menyerangmu
kami ada sebelum republik ini tercipta
Papua Papua kucinta
dst…
Sebagai Negara dan bangsa yang
besar pun kita hendaknya mampu menerima kemajemukan sebagai resiko yang memang
tidak dapat dihindari. Maka rendah hati adalah gerbang masuk bagi adanya
persatuan-persaudaraan. Apapun bentuknya, akar dari segala rasisme harus
dicabut!
Kupang, Agustus 2019
HET
0 Response to "Rasis, Peristiwa Papua dan Keberpihakan Media"
Posting Komentar