Kapan-Mollo
Utara, LekoNTT.com – Tiga tahun
sudah Komunitas Lakoat.Kujawas membangun inisiatif bersama warga Mollo
khususnya yang tinggal di desa Taiftob. Komunitas ini mengawali gerakannya
dengan merintis perpustakaan warga sejak Agustus 2016, menjadikannya sebagai
ruang alternatif baru baru anak-anak desa yang masih sulit mendapatkan akses ke
buku bacaan berkualitas.
Sayap
komunitas ini terus melebar hingga menjaring puluhan relawan muda dari Kapan,
SoE dan Kupang. Mereka menginisiasi berbagai program kreatif lainnya yakni
kelas menulis, tenun, bahasa Inggris, tari, teater dan musik. Semua diramu dalam
semangat kerja kolaborasi dan solidaritas.
Orang
tua adalah pihak berikutnya yang kemudian tergerak untuk bergabung. Selain
sudah melihat manfaat yang diperoleh anak-anak mereka, ada kerinduan yang sama
pada diri orang tua untuk mengakses ruang kreatif bersama yang menjadi tempat
berkumpul, belajar, berbagi pengalaman dan berkreativitas. Hal yang selama ini
kurang mendapat perhatian oleh pemerintah.
Dicky
Senda, salah satu penggagas Komunitas Lakoat.Kujawas, mengatakan, usaha yang dilakukan
sejauh ini adalah untuk membangun ekosistem warga aktif. “Kami merasa untuk
melakukan perubahan, kami tidak bisa melakukannya sendirian. Kami mulai
membangun komitmen dengan para pemangku kebijakan, baik pemimpin gereja,
sekolah, tokoh adat maupun pemerintah desa. Anak adalah titik tengah dari
ekosistem yang sedang kami wujudkan bersama ini”.
Salah
satu inisiatif besar yang mulai digarap adalah membuat sebuah ruang arsip,
tempat segala informasi sejarah, budaya, kesenian dan religi terkait Mollo
tersimpan dan bisa menjadi rujukan bersama. “Ini menjadi sekolah alternatif bagi
siapapun yang ingin mempelajari Mollo. Tentu saja menjadi ruang bagi generasi
muda Mollo. Itu semua adalah identitas”.
Pameran Foto
Pameran
foto yang bertajuk Anak di Antara Hutan,
Mata Air dan Batu dan peluncuran buku puisi Tubuhku Batu, Rumahku Bulan adalah hasil akhir dari sebuah proses
kreatif yang cukup panjang. Proses tersebut melibatkan anak-anak dan remaja
desa Taiftob yang bergiat di Lakoat.Kujawas. Lokakarya fotografi bersama
Sekolah Multimedia untuk Semua (SkolMus) dari Kupang dilewati sebulan terakhir.
Ini adalah kolaborasi kedua, setelah sebelumnya di bulan Agustus 2017 mereka menyelenggarakan
pameran foto bertajuk Pulang.
“Bagi
kami, workshop fotografi di Taiftob
untuk anak-anak adalah satu proses belajar hal-hal baru terkait bagaimana
melihat perpektif anak-anak dalam membingkai cerita-cerita di Taiftob lewat
visual foto,” ungkap Armin Septiexan, salah satu mentor dari SkolMus.
Menurut
Armin, insting dan feel dalam
memproduksi karya yang dihasilkan oleh anak-anak Taiftob tentu akan berbeda
dengan ‘orang asing’ yang sehari-hari atau kebetulan lewat dan memotret
Taiftob. Anak-anak akan lebih bebas membuat karya karena tidak dibebani dengan
teori atau pakem fotografi yang mainstream.
Sebagai
sesama kewirausahaan sosial, misi SkolMus adalah Terus Berbagai Cahaya sejalan dengan misi Lakoat.Kujawas dalam
semangat memperkuat identitas sebagai orang Mollo. “Kolaborasi bersama Lakoat.Kujawas ini, kami
ingin anak-anak menceritakan kampung mereka tentang konsep konservasi alam dan
budaya dengan ‘bahasa’ mereka, bukan bahasa lain yang datang dari luar Taiftob,”
lanjut Armin.
Kehidupan
orang Mollo tidak terlepas dari elemen air, hutan dan batu. Ketiganya tidak
terpisahkan, bahkan dianggap sebagai tubuh manusia itu sendiri. Lokakarya
fotografi dan pameran foto ini dibiayai dari keuntungan kewirausahaan sosial di
Lakoat.Kujawas dan SkolMus.
Peluncuran Buku Puisi
Sejak
September 2018 kelas menulis kreatif To
The Lighthouse yang merupakan kerja kolaborasi Lakoat.Kujawas dengan salah
satu sekolah di desa Taiftob, SMPK St. Yoseph Freinademetz Kapan, rutin
menyelenggarakan lokakarya menulis puisi. Menariknya, mereka menjadikan batu
dan hutan sebagai sumber inspirasi utama.
Delapan
bulan kemudian lahirlah naskah Tubuhku
Batu, Rumahku Bulan berisi 114 puisi pendek yang ditulis oleh 25 remaja.
Cukup unik memang hasilnya, sebab di luar dugaan mereka mengungkapkan apa yang
mereka lihat, pahami dan dengar, dengan sangat jujur dan orisinil. Buku ini
melahirkan cara pandang baru generasi muda Mollo akan tanah kelahiran mereka.
Tubuhku Batu, Rumahku Bulan
adalah buku kedua yang terbit dari kelas menulis kreatif ini. Sebelumnya di
bulan Juni 2018 mereka telah menerbitkan satu buku cerpen berjudul Dongeng dari Kap Na’m To Fena. Berisi
cerita-cerita pendek yang terinspirasi dari dongeng masa kecil atau pengalaman
langsung di rumah.
Ekspresi
diri lewat tulisan tidak bisa dianggap sepele. Dicky Senda selaku mentor di
kelas menulis kreaitf ini berpendapat bahwa yang mereka lalukan sejalan dengan
misi komunitas. “Buku ini penting, barangkali akan jadi sejarah kecil di desa
Taiftob atau Mollo, kelak. Ada imajinasi yang dirawat, ada identitas sebagai
anak Mollo yang patut diperkuat. Ada rasa percaya diri yang meski dirawat
terus,” ungkap penulis buku Kanuku Leon dan Sai Rai.
Menurut
Dicky, usaha tersebut mendapat dukungan dari beberapa pihak yang turut berperan
penting. “Tokoh agama maupun tokoh adat punya kekuatan, suara mereka didengar
banyak orang. Menggandeng mereka untuk sebuah perubahan di masyarakat tentu
baik. Itulah ekosistem warga aktif. Semua pihak punya peran”.
“Pada
momen ini, saya harus jujur mengakui bahwa anak-anak di kelas menulis kreatif
ini telah berhasil menjadi seniman kata,” ujar Romo Jimmy Kewohon, Pr, selaku
kepala sekolah SMPK St. Yoseph Freinademetz Kapan.
Bagi
Romo Jimmy, perjalanan menjadi sastrawan atau penulis profesional masih amatlah
jauh, namun ketika anak-anak ini telah berhasil mengungkapkan suatu realitas di
sekeliling mereka dengan nada puitis dan jujur, diksi yang dalam dan indah,
merekalah seniman kata. Sebagai kepala sekolah dan tokoh agama, Romo Jimmy
sangat mendukung penuh perjalanan Lakoat.Kujawas.
Findy
Lengga, salah satu penulis dalam buku Tubuhku
Batu, Rumahku Bulan, mengungkapkan pendapatnya tentang betapa penting
merawat alam. “Kita perlu merawat dan melestarikan hutan, mata air dan batu.
Karena ketiganya kita dapat menghirup udara segar setiap hari. Tanaman yang
kita tanam bisa tumbuh subur. Alam indah, kita bahagia. Semua yang diwariskan
para leluhur perlu dirawat”.
Melalui pameran foto
dan buku puisi yang sama-sama bicara tentang hubungan manusia dengan alam
semesta dari kaca mata anak-anak, diharapkan membuka mata dan hati banyak orang
untuk lebih bertanggungjawab dan peduli pada pihak lain di luar diri. Merawat
dengan sukacita atau malah mengalami bencana, seperti yang dikhawatirkan Edo
Sesfaot, salah satu peserta lokakarya fotografi. “Tidak merawat hutan, mata air
dan batu maka di masa depan banyak hal yang buruk akan mendatangi kita!”
Baca juga: Lomba Foto Jurnalistik "Pelayanan Publik"
0 Response to "Anak-Anak Komunitas Lakoat.Kujawas Gelar Pameran Foto dan Peluncuran Buku Puisi"
Posting Komentar