Lowewini, nama yang mungkin tampak
asing di telinga sebagian orang. Ialah pilihan nama sebuah Taman Baca (TB) di
Sikumana, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). TB ini digagas dan dikelola
oleh Linda Tagie (Penulis, Seniwati asal NTT). Bertepatan dengan Hari Buku
Sedunia, 23 April 2019, Lowewini hadir sebagai salah satu taman baca dari
ratusan taman baca lainnya di NTT. Lantas, apa yang menjadikan Lowewini tampak berbeda?
Bagaimana anak-anak dihimpun?
Jika kebanyakan spirit TB di NTT lebih
menyasar kepada masyarakat umum, maka Lowewini hadir untuk menjawabi persoalan
anak-anak, baik tentang literasi (baca-tulis) itu sendiri, maupun hal-hal
hakiki seputar dunia anak-anak. Di Lowewini, anak-anak dibimbing dengan konsep
belajar sambil bermain. Sebelumya, mereka dihimpun dengan pendekatan ‘kekeluargaan’.
Salah satu aktivitas (permainan tradisional) di TB Lowewini. (Foto: Linda Tagie) |
“Saya mulai dari rumah ke rumah, cari
anak-anak dan izin ke orang tua. Syukur, orang tua di sekitar sini mau terima dan
dukung ide ini dengan antusias, demikian juga anak-anak. Saat ini anggota tetap
Taman Baca Lowewini sudah mencapai angka 60-an,” ungkap Linda Tagie.
Menarik, Lowewini sendiri adalah
pilihan nama dari dua kata dalam Bahasa Sabu. Lowe artinya banyak dan wini
berarti bibit/ rumpun/ keluarga. Bertepatan dengan Hari Buku Sedunia (23 April),
Lowewini ‘lahir’. Baru beberapa bulan, usia yang masih terlalu muda untuk
sebuah taman baca. Tetapi ‘tidak’ bagi spirit dan geliat yang ada di sana.
Lowewini hadir sebagai rumah atau
keluarga besar yang memiliki kecintaan terhadap literasi baca-tulis dan isu-isu
seputar anak dan perempuan. Itu sebabnya, anggota keluarga besar dimaksud lebih
banyak ‘dihuni’ oleh anak-anak.
Linda Tagie, penggagas Taman Baca Lowewini |
“Kami memilih Lowewini sebagai
identitas karena semua yang terlibat adalah keluarga yang se-visi dengan kami
untuk kebaikan dan kesetaraan, bahwa siapa kamu di masa depan ialah apa yang
kamu lakukan hari ini”.
Festival
Lowewini
Dalam rangka memeriahkan Hari Anak
Nasional, 23 Juli 2019, TB Lowewini mempersembahkan ‘even kecil’
bertajuk Festival Lowewini. Festival tersebut berlangsung selama satu bulan
lebih, dimulai sejak 1 Juni (Hari Anak Internasional hingga 23 Juli 2019 (Hari
Anak Nasional). Kegiatannya berlangsung setiap Sabtu dalam pekan, mengingat
kebanyakan di antara mereka adalah anak-anak sekolah.
“Kegiatan hanya berlangsung setiap
hari Sabtu karena hari lain itu anak-anak sekolah. Festival ini hadir sebagai
ruang hiburan, mengembangkan potensi anak, merawat masa kecil. Selain butuh
istirahat, Lowewini tidak mau jadi wadah yang membosankan bagi anak-anak”.
Di TB Lowewini, anak-anak dibimbing untuk akrab dengan buku-buku. (Foto: Linda Tagie) |
Memanfaatkan momen Hari Anak
Internasional dan Hari Anak Nasional adalah salah satu cara untuk
memperkenalkan hak-hak mereka. Anak-anak dimampukan untuk lebih kritis terhadap
ketidakadilan, lebih paham tentang bentuk kekerasan, termasuk kekerasan
seksual.
Akhir-akhir ini, kekerasan seksual
marak terjadi di NTT, khususnya Kota Kupang. Nyaris dalam setiap pekan media-media
pun marak memberitakan persoalan tersebut. Anak-anak tengah dalam ancaman
besar, banyak ‘predator’ berkeliaran di mana-mana. Selain perhatian lebih dari
para orang tua, butuh wadah khusus yang bisa membantu pencegahan.
“Kami angkat tema Merawat Masa Kecil karena festival ini
juga bertujuan untuk mengalihkan anak-anak dari gawai dan tayangan televisi yang
berisi perundungan, kekerasan, membahas aib orang atau sinetron yang tidak
mendidik”. Merawat Masa Kecil bisa
memampukan kita memahami bahwa anak-anak dalam proses pertumbuhan, hendaknya
tidak kehilangan momen.
Masa kecil adalah masa dimana anak-anak
benar-benar merdeka, bebas dari 'ketergangguan' dalam segala bentuk, namun tetap
dalam pengawasan orang tua dan orang-orang yang memiliki ikatan dengan anak itu
sendiri. Banyak cara bisa dilakukan sebagaimana tawaran dari Lowewini, anak-anak
diperkenalkan berbagai macam permainan tradisional. Masa kecil yang ceria dan
merdeka tidak harus mahal. Di dalamnya, anak-anak bisa saling berbagi
(menumbuhkan jiwa sosial).
Perwakilan Komunitas Tenggara NTT saat berbagi soal kesehatan reproduksi. (Foto: Linda Tagie) |
Tentang perkembangan sebagai sebuah
proses, terkadang ada anak-anak yang melewatinya dengan sarat beban. Dunia
mereka seolah 'tidak dipedulikan', hak yang adalah kemerdekaan tampak dikekang
dalam segala bentuk. Masalah tersebut bisa saja timbul dari dalam keluarga ataupun
lingkungan sekitar yang turut membentuk mental dan karakter seorang anak.
Proses itu yang kemudian menentukan seorang anak berkembang secara merdeka atau
tidak.
Lagi, Lowewini, jawaban atas segala
kegelisahan itu. Memang, dirancang dan hanya mencakup anak-anak di Kelurahan
Sikumana dan sekitarnya, tetapi siapa saja boleh datang untuk belajar sambil
bermain. Lowewini hadir untuk siapa saja yang sempat mampir. “Kita tidak
menutup kesempatan bagi teman-teman yang mau bergabung atau bawa anak, adik,
ponakan atau anak binaannya untuk belajar bersama kami setiap akhir pekan”.
Di sana, anak-anak juga dibimbing untuk
mengenal dan memahami hak-haknya dan tahu bagaimana caranya bertindak ketika
haknya itu dilanggar. Dengannya, anak-anak dapat bertumbuh dalam sukacita dan
berpikir kritis. Sebagai sebuah TB, Lowewini dalam festivalnya pun melakukan
pendekatan melalui buku. Banyak bahan bacaan berkualitas yang disediakan untuk
anak-anak. Ada satu harapan bahwa anak-anak semakin akrab dengan buku.
Anak-Anak
Berperan Aktif dalam Festival
Jika dalam berbagai even (festival)
dibutuhkan peran aktif orang dewasa, maka ada yang berbeda dari Festival Lowewini. Memampukan anak-anak
berperan aktif adalah salah satu keunikan festival tersebut. Peran itu mewujud
dalam kepanitiaan kecil yang dibentuk oleh pihak pengelola.
Kepanitiaan yang ada pun dibentuk
melalui ‘pemilihan umum’ sebagaimana pembentukan panitia pada umumnya. Anak-anak
menentukan sendiri siapa (sahabat) yang lebih pantas menakhodai jalannya
festival. Di sana, ditumbuhkan sikap demokrasi dan saling menghargai satu sama
lain. Anak-anak diberi peran (tanggung jawab) dan mereka terlibat langsung
dengan para mentor (pendamping) yang sempat diundang pihak Lowewini untuk
berbagi.
Lokakarya Hak Anak, Kekerasan pada Anak dan Gender oleh Rocky Kale. (Foto: Linda Tagie) |
Beberapa jenis kegiatan yang sudah
sukses mereka jalankan sejauh ini antara lain, Lokakarya Hak Anak, Kekerasan
pada Anak dan Gender (difasilitasi oleh Rocky Rian Kale, Project Officer
PIEB-Alor), Belajar Bahasa Isyarat Indonesia (difasilitasi oleh Komunitas Belajar
BISINDO dan TUM Kupang), Kesehatan Pribadi, Pola Hidup Bersih dan Sehat,
Lingkungan Sehat (difasilitasi oleh Stev Nappoe, MEAL Officer di Save the
Children), Sabtu Sains (difasilitasi oleh Lab Metal Kupang), Mengenal
Tanda-Tanda Pelecehan pada Anak (difasilitasi oleh Linda Tagie), Kesehatan
Reproduksi (difasilitasi oleh Komunitas Tenggara NTT), dan masih banyak
kegiatan lainnya.
Peserta Lokakarya Hak Anak, Kekerasan pada Anak dan Gender. (Foto: HET) |
Banyak aktivitas di Lowewini yang
sudah disukseskan oleh anak-anak dengan bantuan pihak pengelola. Saat yang
sama, ‘masa kecil’ mereka sudah mulai dirawat, sukacita benar-benar dialami dan
dirasakan. Lowewini, taman baca sekaligus rumah yang menjanjikan nyaman bagi
anak-anak.
Penulis,
Herman Ef Tanouf
0 Response to "Usaha Lowewini dalam Merawat ‘Masa Kecil’ Anak-Anak"
Posting Komentar