Layar
Telah lama kita melarung dalam gelombang biru, dalam pikiran
baru,dalam hati yang layu. Telah lama kita menyendiri, melawat diri, melampau
diri sendiri menjadi sepi-sepi yang lebih pribadi.
Kau adalah nahkoda, akupun sama. Kemudian kita gelar dua
layar, untuk kapal yang tak sama. Layar berkembang dalam tiupan angin, dalam
penyeberangan yang lain. Layar disentuh udara, kita berkembang dalam pelayaran
yang tidak sama. Kita adalah nahkoda lain dalam menyeberangi lautan yang lain
Tentu saja layar kita bukan cadik yang satu, layar kita
kusam dan badan yang tak satu. Tapi kita sama-sama berlayar bukan? kita
berlayar dengan kapal yang berbeda, dengan tujuan yang tak sama. Kita adalah
pengasingan diri pada pribadi yang lebih pribadi
Aku dan kamu sepenuhnya lain, kita adalah sebuah pelayaran
dengan tujuan yang lain. Kita adalah oase atas kemenarikan alam pikir, kita
sepenuhnya berpikir. Layar kapal mengembang, kapalmu berlayar
Dirimu terbawa sampai laut, sampai maut
Kapalku menepi, diriku sepi sampai mati. Kita adalah
masing-masing yang berlayar sampai akhir, sampai berakhir. Dan pantai adalah
titik semu, jembatan temu.
Pagi Adalah Perawan
Pagi adalah perawan yang masih mencari keberadaan kekasihnya
di saku lipatan baju yang tertumpuk di dalam almari kayu. Rindu adalah embun
pagi yang basah, yang tak pernah luput menyambut rumput di pelataran rumah.
Datang, pamit, pergi dan pulang adalah kesamaan wabah, ia adalah kremasi
kematian atas bait puisi yang terangkai majas biasa, yang tungkul, yang
memukul. Maka pagi adalah perawan yang menyambut kremasi kematiannya sendiri,
yang selalu ia rindukan dalam kesendirian. Rindu olehnya disebut
jarak yang menyeka garis waktu dengan air mata, rindu yang karenanya mampu
mengurai sajak lamunan menjadi kutuk yang membuat wajahnya tertunduk. Karena
pagi adalah perawan yang basah, yang hadir dari buih aksara bisu,
belenggu dan perasaan rindu.
Tinja
Pikiranku adalah risak tinja yang mengendap. Ia
adalah bau busuk yang menusuk. Dia adalah risau dengan belenggu
tanpa upaya mencari tahu. Pikiran adalah tinja, keberadaannya adalah curiga
dengan segala duga. Tinja adalah kehadiran, tinja adalah keniscayaan. Dan tinja
adalah isi pikiranku atas kekhawatiran yang membelenggu nalar, atas
kecurigaan yang mengotori pikiran.
Sabar
Kesabaran adalah omong kosong atas candu diri
yang terlalu diamini. Dia adalah alasan untuk tinggal dari kemungkinan yang
mengganjal, yang akan pergi dan meninggalkan. Sabar, kesabaran atau bersabar
adalah racun yang dibuat sebagai penghibur, dirangkai dalam bingkai
diri. Sabar adalah sajak yang dibangun dengan syukur yang kerap
hadir tanpa ukur. Sabar sekali lagi adalah candu pilu dari orang-orang yang tak
menghendaki untuk mampu.
November
November adalah kekasih yang mampir membawa sepi, yang
menyiram rindu dengan basah, yang membawa ngilu tulang saat diguyur
air hujan. November adalah semi padi yang
ditanam petani pada gembur tanah dengan benih cinta kekasih .
November adalah puisi, sajaknya adalah mantra lewat kata. Ia ucap
yang menancap, basahnya adalah rindu yang mengikat. November adalah
kerinduan, ia adalah ikrar sepi atas rindu malam yang disapu tetesan
air hujan.
Maka rindu adalah basah yang tak mengenal kerontang tanah.
Ia biru laut dengan pemandangan berpasir Senggigi yang menawan. Kapan tepatnya
aku lupa, tapi rinduku padamu adalah mata lari-lari pada pada pesisir yang
menampung perahu di kanan-kiri. November adalah genangan, guyuran
hujan adalah kenangan. Basah mampir pada pelipis muka, hujan lewat pandangan
dengan lembut menyapu debu kaca, dia rancau ucap yang lewat pada uap teh. Maka
November adalah guyuran hujan yang menggugah ingatan.
Dian Meiningtias adalah perempuan biasa yang memutuskan menjadi pengangguran
gadungan. Ia sibuk jalan-jalan, meminum kopi dan mengurai sajak.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus