Penulis: Kevin Alfiarizky
Seminggu
yang lalu, payung itu masih belum ada di rumah. Ia masih berkelana dari
pertokoan mewah, rumah ke rumah, dan tangan ke tangan, sampai ayah
menemukannya di pasar loak. Kata ayah, payung itu bisa menjagaku dari
segala hal. Namun payung itu yang membuat ayah pergi. Selamanya.
Ilustrasi: Merlin Mare. |
Aku senang. Minggu adalah sebagian doaku yang telah terkabulkan. Keluargaku bisa berkumpul bersama sehari dalam sepekan dan meluangkan waktu dari segala kesibukan. Aku jenuh ditinggal mereka di rumah.
Rumah
sangat ramai hari itu, walau mereka hanya bermalas-malasan di ruang tamu,
setidaknya aku bisa menamatkan wajah mereka satu persatu sembari
menonton serial kartun pagi di televisi.
Rumah adalah tempat tinggal paling nyaman bagiku, selain rumah makan padang di perempat jalan dekat rumah. Apalagi bersama mereka. Ibu, ayah dan kakak.
Rumah adalah tempat tinggal paling nyaman bagiku, selain rumah makan padang di perempat jalan dekat rumah. Apalagi bersama mereka. Ibu, ayah dan kakak.
Biasanya,
ketika ayah tidak bekerja, selalu saja ada hal yang ingin ia kerjakan.
Membersihkan halaman rumah, mencuci motor, menyemir sepatu, mencukur kumis atau
sekadar berjalan-jalan menghibur diri. Ayah bukan tipikal orang yang gemar
berdiam diri di rumah. Walau kutahu setiap akhir pekan ia selalu sengaja bangun
kesiangan, untuk membayar hutang segala tidur yang belum terlunaskan katanya.
Pagi
itu ayah mengajakku pergi ke suatu tempat yang sering ia
kunjungi. Tumben, pikirku. Biasanya ia enggan mengajakku pergi di
hari minggu, seperti tetangga sebelah rumah yang sering
melakukan hal yang sama pada anak yang usianya seumuran denganku. Mereka
sekeluarga keluar rumah, berkunjung ke suatu tempat wisata yang ramai seperti
pantai, kebun binatang, taman bunga, atau sekadar jalan-jalan santai di sekitar
alun-alun kota.
Ibu
tak pernah mau diajak seperti itu. Katanya jalan-jalan hanya membuatmu
lelah dan menghabiskan uangnya.
Kakak lebih senang menghabiskan waktu bersama teman sejawatnya ketimbang pergi bersama adik laki-lakinya. Baru kali itu ayah mengajakku keluar rumah walau aku sendiri sangsi akan tawarannya.
Kakak lebih senang menghabiskan waktu bersama teman sejawatnya ketimbang pergi bersama adik laki-lakinya. Baru kali itu ayah mengajakku keluar rumah walau aku sendiri sangsi akan tawarannya.
Sepanjang
perjalanan, ayah tak berkata apapun. Tiap kali aku bertanya, ayah selalu
menjawab nanti juga kamu tahu. Aku dibuatnya penasaran. Jujur saja, ini
kali pertamanya aku pergi keluar rumah di hari minggu bersama ayah.
Menaiki sepeda motor tua yang baru saja ia cuci sebelumnya. Mataku berpencar
segala arah, kanan–kiri–kanan–kiri–kanan–kiri. Aku melihat jalanan yang
ramai, mobil-mobil menyesaki ruang jalan, orang-orang yang ingin menyebrang,
pedangan asongan di trotoar dan kakek tua yang menjual koran di persimpangan.
Perjalanan
baru terlewat beberapa menit saja, tetapi aku sudah merasa lelah. Mungkin benar
apa kata Ibu, jalan-jalan hanya membuatmu lelah... Walau sesungguhnya
kita tak benar-benar sedang berjalan, duduk di sepeda motor beberapa menit saja
sudah cukup membuatku lelah.
Aku
bertanya pada ayah, sampaikah kita pada tujuan yang ia pinta? Sebentar kemudian motor yang kami tumpangi
menepi di kiri jalan dan ia berkata kita sudah sampai!
Aku
heran. Apa yang aku bayangkan meleset dari jangkauan. Pikirku, Ayah akan
mengajakku pergi ke kebun binatang. Melihat zebra, jerapah berleher panjang,
ikan-ikan di akuarium besar, memberi makan kucing liar yang hidup bebas di luar
kandang kebun binatang atau ke toko ikan hias untuk membeli ikan baru.
Bukan! Bukan kebun binatang juga bukan toko ikan hias. Ayah mengajakku
berkunjung ke pasar loak.
Dalam
hati, aku berdebat dengan diriku sendiri. Sunggguh apakah ini hal yang disukai
orang dewasa? Tempat rongsokan sampah tak berguna? Apa yang sebenarnya ayah
cari di pasar loak ?
Sebentar
saja ayah sudah melesat meninggalkanku sendiri. Menyusuri kios-kios pedagang
tanpa bangunan itu. Aku masih mencoba mencari tahu sesuatu yang membuat ayah
jatuh hati pada tempat seperti ini. Di ujung sana, ayah melihat-lihat barang
tua. Aku melihat besi-besi berkarat yang tak lagi berkilau, rantai-rantai yang
terkulai, mesin ketik sepuluh jari yang sama persis seperti yang ada
di rumah, dan berbagai alat elektronik yang mungkin masih bisa dibenahi.
Lama-lama pikirku tempat loakan itu nyaman juga. Rasanya, aku seperti sudah sama tuanya dengan ayah. Mungkin ini yang ayah rasakan, bernostalgia dengan barang-barang kuno yang mungkin pernah berjaya di masanya. Seperti mesin jahit lama, uang koin kuno, alat pembuat tepung dari batu, kamera zaman dulu, televisi tabung dan semua hal yang mungkin hanya bisa ditemui di tempat itu.
Lama-lama pikirku tempat loakan itu nyaman juga. Rasanya, aku seperti sudah sama tuanya dengan ayah. Mungkin ini yang ayah rasakan, bernostalgia dengan barang-barang kuno yang mungkin pernah berjaya di masanya. Seperti mesin jahit lama, uang koin kuno, alat pembuat tepung dari batu, kamera zaman dulu, televisi tabung dan semua hal yang mungkin hanya bisa ditemui di tempat itu.
Ayah
menimbang-nimbang keinginannya, barang di ujung sana menjadi pilihannya saat
itu. Payung hitam dengan pegangan kayu berukir kepala ular cobra. Payung itu
tampak seperti baru, warnanya pun masih solid, mungkin payung itu masih layak
pakai dan seharusnya barang seperti itu masih ada di etalase-etalase kaca
pemilik toko ternama.
Cukup
lama ayah bersama si tukang loak. Dimainkannya payung itu,
buka–tutup–buka–tutup, memastikan barang itu masih bisa digunakan. Ayah senang
melihat payung itu, dan akupun senang melihat ayah seperti itu. Maka,
terjadilah pertarungan tawar-menawar harga antara ayah dan tukang loak
yang berlogat Madura.
Mula-mula ayah
menawar setengah harga, tetapi payung malah disimpan kembali oleh pemiliknya.
Katanya, harga segitu tidak boleh menebus barang antik yang masih bagus. Payung
hitam itu buatan Belanda, sudah lama usianya. Lebih tua dari usia ayah.
Ayah terlihat ragu menatapku, katanya
payung itu akan sangat berguna nantinya dan mungkin ibu akan menyukainya. Ayah
menaikkan sedikit tawarannya dan si tukang loak itu melepas
barang dagangannya dengan nafas panjang yang keluar dari dada. Aku senang
melihat ayah memenangkan pertarungan dan melihat si tukang loak setuju dengan
tawaran ayah, walau aku yakin ia sedikit iba dengan tatapan ayah dan
membiarkan barang bekas itu jatuh di tangannya.
Hari
semakin tua, pasar loak memakan waktu kita. Siang itu, langit berwarna abu-abu
dan ibu selalu cemas menungguku. Ayah tampak buru-buru menghidupkan mesin motor
tuanya. Di berikannya payung hitam itu kepadaku.
“Ini untukmu, kau akan pantas
menggunakannya. Payung ini sangat berguna nantinya, akan menjagamu dari banyak hal. Tolong jaga payung ini
untuk Ayah.”
Aku
melihat matanya yang berbinar terkena cahaya. Pintanya sungguh tak biasa. Aku
menganggukkan kepala dan menggenggam erat payung itu dengan kedua tanganku.
Kita kembali menelusuri jalan raya, bergegas pulang ke rumah sebelum ibu
khawatir mencariku.
Sepanjang
jalan, kita melalui jalanan yang kelabu. Orang-orang bergegas menghempas jalan
sebelum turun hujan. Warung-warung tepi jalan menyiapkan diri menata plastik
sebagai pelindung sebelum turunnya hujan.
Di
persimpangan lampu merah, gerimis datang. Ayah kebingungan sebab tak membawa
jas hujan sementara lampu merah baru saja menyala. Ayah menyuruhku membuka
payung itu, untukku berteduh katanya. Aku tak mau sebab tanganku tak cukup
tinggi untuk mengangkatnya, agar kita sama-sama berada di bawahnya. Ayah
memaksa dan lampu hijau menyala, aku membuka payung itu dan berteduh di
bawahnya seorang diri.
Ayah
memacu motor tuanya. Di balik punggungnya, aku menggengam erat payung hitam dan
berpegangan sebisa mungkin pada baju ayah. Motor semakin melaju kencang, ayah
acuh membiarkan tubuhnya dihempas hujan yang semakin deras, tubuhnya mengigil
kedinginan sebagian hujan mengenai tubuhku dari sisi yang tak terlindungi.
Lama-lama aku takut juga, aku meminta ayah tuk mengurangi kecepatan motornya.
Aku khawatir, jalanan tampak begitu licin dan hujan semakin deras mengguyur
tubuhnya.
"Tolong jaga payung ini untuk Ayah." Ilustrasi: Merlin Mare. |
Dan
benar apa pikirku. Di perempatan lampu merah kedua, sebuah mobil sedan berhenti
secara tiba-tiba. Ayah yang melaju sangat kencang tak sempat menginjak rem
belakang. Motor menabrak bokong mobil sedan, dan ia terlempar jauh ke depan.
Aku masih menggenggam erat payung hitam yang telah patah sebagian pegangannya.
Tubuhku terhempas di kanan jalan, di trotoar yang menggenang air hujan. Syukur,
genangan air itu hanya membuat lengan dan kakiku tergores sebagian. Aku bangun
dari jatuhku, aku cemas akan ayahku yang terhempas jauh. Orang-orang mengerumuninya, kulihat motor
tuanya remuk tak berbentuk lagi dan payung hitam itu, masih tetap aku jaga seperti
pinta ayah
sebelumnya.
Ayah
meninggal dunia, ketika benturan antara kepala dan tiang listrik terjadi begitu
keras hingga mengucurkan darah yang begitu deras. Orang-orang mengerumuni ayah. Aku menghampirinya, melihat tubuhnya yang terkulai seperti rantai
berkarat yang kutemui sebelumnya di pasar loak. Wajahnya pucat, bibirnya beku
dan tubuhnya memar terkena benturan.
Aku
menangis di bawah payung hitam yang ayah dapat dari pasar loak. Payung itu melindungi tubuhnya dari hujan
tetapi tidak dari air mata yang semakin bermuara di wajahku. Seseorang mencoba
menenangkanku setelah sebuah mobil ambulan datang membawa ayah pulang.
Ya,
setelah kejadian itu. kini aku benar-benar merasa kehilangan. Ibu tak
henti-henti menangis di kamar sendiri dan Kakak laki-laki tak pernah pulang ke
rumah sejak ayah
meninggal. Rasanya seminggu setelah kepulangan ayah, ia masih berada di rumah.
membangunkanku di pagi hari, menemaniku sarapan, bercengkrama menonton televisi
dan sesekali suaranya terdengar di kamar.
Ayah, payung hitam inikah yang sesungguhnya
ingin kau berikan padaku? Payung peninggalan Belanda dengan
ukiran khas yang kini telah patah gagangnya? Maafkan aku Ayah, aku tidak
bisa menjaganya dengan baik seperti apa yang kau inginkan. Tetapi setidaknya
ucapanmu ada benarnya juga. Payung itu menjadi sangat berguna. Terakhir kali
aku menggunakannya untuk melindungimu dari hujan yang membuat tubuhmu beku di
kerumunan orang dan melindungiku saat mengantarkanmu menuju ke liang lahad saat
itu.
Harusnya
engkau ajak aku ke toko ikan hias di hari minggu itu atau kita tetap menonton
televisi di rumah bersama Ibu. Mungkin ini terakhir kalinya aku pergi ke pasar
loak. Setidaknya, setelah kau sempat mengenalkannya padaku, tentang barang kuno
yang bernilai harganya, tentang tempat yang sering kau kunjungi setiap minggu
tiba.
Ayah,
sungguh aku tak ingin payung itu berada di sana. Aku tak ingin berlama-lama
berlindung di bawahnya. Aku hanya ingin tumbuh dan berlindung di balik
punggungmu, Ayah.
5 Januari 2018
Kevin
Alfiarizky, lahir di Jakarta tahun 1998 dan
tumbuh besar di Surabaya. Seorang mahasiswa di Universitas Negeri Surabaya
(UNESA). Suka membaca dan menulis.
0 Response to "Payung Peninggalan Ayah | Cerpen"
Posting Komentar