Kegagalan selalu menyisakan sakit
hati, tapi tidak meninggalkan luka. Kegagalan itu diakrabi setelah tahap-tahap
pengolahan ‘sakit hati’ dilewati dengan penuh kesabaran. “Hati saya mulai
terampil mengolah sakit hati karena kegagalan dan penolakan. Saya berhasil melewati
banyak kegagalan, sebelum akhirnya lolos MIWF 2019,” ungkap Frater Giovanni
Aditya Lewa Arum yang akrab disapa Adit, salah satu Emerging Writers MIWF 2019.
Giovanni Aditya Lewa Arum |
Makassar
International Writers Festival (MIWF) adalah festival sastra tahunan yang
diselenggarakan oleh Rumata’ Artspace untuk menjaring dan memfasilitasi
penulis-penulis ‘baru’ asal Indonesia Timur. Adit pun lolos seleksi sebagai
salah satu peserta MIWF 2019 asal Nusa Tenggara Timur (NTT).
Belajar
dari Sosok Lain, Proses Kreatif Menuju Kematangan Berkarya
Sama seperti calon imam lain yang
adalah penulis, sebut saja Diakon Saddam HP, Frater Adit juga menjadikan dunia
tulis-menulis sebagai bagian dari upaya pewartaan. Bahkan motivasi itu sudah
menjadi credo baginya. “Saya meyakini
bahwa menulis adalah bentuk devotio
intellectualis (sebuah devosi intelektual) kepada Tuhan, juga tanggung
jawab sosial kepada sesama”.
Anak pertama (dari tiga bersaudara)
pasangan Antonius Peka dan Maria Anggelina Ning Anggraei ini, mulai menulis
sejak duduk di bangku kelas 2 (dua) SMPK Sint Vianney Soe. Puisi pertama yang
ditulisnya berjudul Ibu dipajang pada
majalah dinding sekolah saat itu. Ia kemudian mengenal puisi dalam konteks
sastra ketika menjalani masa pendidikan calon imam di SMA Seminari St. Rafael
Oepoi, Kupang dan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.
Menghargai cinta dan kesederhanaan
yang ditunjukkan kedua orang tuanya turut mempengaruhi kecintaan Adit terhadap
puisi. Demikian ia ada dalam lingkungan beda budaya, ayah asal Nagakeo, Flores,
ibunya asal Bogor, Jawa Barat, Adit lahir, menghabiskan masa kecil di Soe,
kemudian masuk dan menjumpai sesama calon imam yang juga berbeda latar
belakang. Semua itu, pengaruh yang sangat kaya dalam riwayat karya.
Adit adalah seorang ‘peniru’ yang baik
(bukan plagiator). Jika puisi pertama ditulisnya sebagai hasil modifikasi dari
salah satu puisi di Majalah Bobo, maka ketika memasuki formasi di seminari, ia
pun mulai mengenal bahkan meniru gaya penulisan sastrawan Mario. F. Lawi.
Benar, ketika membaca puisi-puisi calon imam Keuskupan Agung Kupang ini, nyaris
tiada beda dengan puisi-puisi Mario. Pembaca akan disuguhkan puisi-puisi
Alkitabiah (menjadikan Kitab Suci sebagai sumber citraan).
Kebiasaan ‘meniru’ ala Frater Adit
bukan sesuatu yang baru dalam dunia sastra, khususnya karya puisi. Kebanyakan
penyair dalam masa awal kepenulisan, memang lebih banyak meniru. Itu bagian
dari proses kreatif hingga akhirnya benar-benar menemukan karakter
masing-masing. Merujuk pada label yang sering kita dengar, semisal
chairilanwaris (karya bercorak Chairil Anwar), nirwandewantois (karya bercorak
Nirwan Dewanto), sapardian (karya bercorak Sapardi Djoko Damono), maka bolehlah
kita (pembaca karya) melabeli Adit sebagai mariolawian (karya bercorak Mario Lawi).
Selain Mario, ada sosok lain yang juga
turut mempengaruhi produktivitas Adit dalam berkarya. Ialah Romo Amanche Frank
Oe Ninu, Pr (Kepala Sekolah SMPK St. Yosef Naikoten, Kupang), saat itu ia selaku
Frater TOP di Seminari Oepoi, Adit salah satu anak bimbingannya.
“Saya meniru dan menjadikan Mario F.
Lawi sebagai acuan dalam menulis puisi yang baik. Pada awalnya, saya bergerak
dari menulis cerpen. Tangan dingin yang sering disertai teriakan keras dan
paksaan yang mulia dari Romo Amanche telah membentuk saya untuk duc in altum (bertolak ke kedalaman) dunia
tulis menulis pada umumnya dan karya sastra pada khususnya”.
Bertemu dan hidup bersama di seminari
adalah pintu utama bagi Adit untuk masuk ke beberapa komunitas sastra. Ialah Komunitas
Sastra Filokalia (komunitas sastra di Seminari Tinggi St. Mikael Kupang, saat
ini Adit menjabat sebagai ketua) dan juga bergiat di Komunitas Sastra Dusun
Flobamora. Di sana (Dusun Flobamora) ia kembali berproses bersama Romo Amanche,
Mario F. Lawi, Abu Nabil Wibisana, Saddam HP dan beberapa penulis lainnya.
Selain melalui sosok-sosok yang hadir
secara nyata dan mempengaruhi riwayat karyanya, Adit juga terinspirasi dari
beberapa filsuf dan teolog. Salah satu diantaranya adalah Santo Thomas Aquinas
(Imam dan Pujangga Gereja). “Saya juga banyak belajar dari spiritualitas hidup
filsuf dan teolog besar Santo Thomas Aquinas yang justru mengungkapkan cintanya
yang agung dengan menulis. Santo Thomas ternyata tidak hanya menulis uraian
sistematis dan lengkap tentang filsafat dan teologi. Ia juga menulis puisi.
Beberapa puisi yang diwariskan hingga kini bagi umat Katolik telah digubah
dalam lagu Tantum Ergo dan Panis Angelicus.
Sebagai calon imam, Adit menulis bukan
hanya sekadar hobi. Karena baginya, menulis yang merangkum juga membaca secara
inheren di dalamnya, adalah tanggung jawab intelktual, moral dan spiritual
sebagai bentuk pewartaan. Bagi calon imam, menulis yang diresapi dengan
semangat pewartaan adalah panggilan yang mulia. “Saya teringat kutipan Kitab
Suci kasihilah Tuhan dengan segenap akal
budimu! Kutipan ini yang mendenyutkan nadi saya dalam menulis. Oleh karena
itu, saya berjuang untuk konsisten dengan puisi-puisi biblis”.
Riwayat Karya
dan Jalan Menuju MIWF 2019
Perihal riwayat berkarya telah disinggung
di atas. Pembahasan berikut lebih kepada riwayat publikasi karya-karya Adit. Konsistensi
untuk menulis puisi-puisi biblis (Alkitabiah), telah membawa Adit ke menuju
kematangan berkarya. Kematangan tersebut selain diukur melalui karya-karya itu
sendiri, juga dapat diukur lewat kurasi para ‘penjaga gawang’ media tertentu. Adit
dalam pengalaman berkarya telah mempublikasikan karya-karyanya, baik majalah,
koran, media online maupun antologi bersama. Karya-karyanya itu berupa puisi,
cerpen, esai dan resensi buku.
Puisi-puisinya
telah tersiar di beberapa Harian Umum seperti, Koran
Tempo, Bali
Post, Pos Kupang, Victory News, Timex dan di beberapa jurnal sastra seperti Jurnal Sastra Santarang dan
Jurnal Sastra Filokalia.
Beberapa puisinya juga termaktub dalam antologi Senja di Kota Kupang (2013), Ratapan
Laut Sawu (2013), Nyanyian Sasando (2015), Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih
Mata (2017, diselenggarakan
oleh Festival Puisi Bangkalan 2), Epitaf Kota Hujan (2018) dan
antologi Sebuku Bersama Sapardi Djoko Damono (2019). Beberapa cerpennya juga
tergabung dalam antologi cerpen sastrawan NTT, Cerita dari Selat Gonsalu (2015).
Pengalaman-pengalaman
itulah yang terus mendorong Adit untuk mengikuti berbagai event sastra. Adit pernah diundang dalam Temu Sastrawan NTT
I (2013), Temu Sastrawan NTT II
(2015), Festival Sastra Santarang I (2015), dan Festival Sastra Asia Tenggara
(2018) di Padang Panjang, Sumatra Barat. Pernah menjadi
salah satu pemenang puisi pilihan dalam perlombaan nasional cipta puisi dan
cerpen “Syukuran Sastra” yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Sumatra Barat
(2019) dan Juara I Lomba Menulis Puisi Nasional yang diselenggarakan oleh
Tulis.Me (2019).
Tentang MIWF,
Adit sudah ‘menuai’ beberapa kali kegagalan. “Saya sudah empat kali mengirim
karya dan belum juga lolos”. Kegagalan yang sama pun ternyata dialami ketika
ingin mengikuti Ubud Writers and Readers
Festival (UWRF). Kedua event sastra bergengsi itu, memang menjadikan Adit
tidak berhenti berjuang. “Lolos tidak lolos, bukan menjadi batas akhir
keselesaian dalam menulis”.
Tahun 2019,
Adit kembali mengikuti seleksi penulis MIWF. Sebanyak 195 naskah yang diterima
panitia MIWF, hingga jadwal pengumuman tiba (13 Mei 2019) ada nama Giovanni A.
L. Arum (Kupang). Ya, Adit lolos sebagai salah satu emerging writers dengan mengirim 25 karya puisi. Ia bersama keempat
teman lainnya yakni, Fadli Refualu (Makassar) yang mengirimkan naskah
Novel, Ilda Karwayu (Mataram, NTB) yang mengirimkan puisi, Nurul Fitroh
(Makassar) yang mengirimkan cerpen, dan Safar Banggai (Banggai) yang
mengirimkan cerpen.
Adit (baju merah) bersama keempat emerging writers lainnya (Foto: Ist.) |
Karya-karya yang dikirimkan Adit,
tidak terlepas dari konsistensinya dalam berkarya. “Saya mengusung tema-tema
biblikal. Saya memang berjuang untuk konsisten dengan tema ini. Meski saya
tahu, tema ini sudah sangat sering diasosiasikan dengan Mario. Mungkin inilah
yang menjadi tantangan bagi saya. Menemukan pembacaan dan refleksi alternatif
dalam mengelola tema biblikal”.
Lolos sebagai salah satu emerging writers MIWF 2019 menyisakan
perasaan senang sekaligus cemas. Senang karena akhirnya keterampilan merawat
kegagalan menemukan titik terang. Namun, serentak pula ada kecemasan mulia yang
menghendaki Adit untuk terus bertanya sudah sejauh mana ia terus mengolah
keterampilan dalam berpuisi. “Apa yang harus saya lakukan setelah menjadi emerging writer MIWF 2019? Predikat ini
sekaligus menuntut pertanggungjawaban”.
Apresiasi
atas Prestasi
Sejak diumumkan nama-nama terpilih, pihak
Seminari Tinggi St. Mikael Kupang sangat mendukung dan memberikan apresiasi
yang baik. Adanya Komunitas Sastra Filokalia, dimoderatori oleh Romo Sipri
Senda sebagai pendamping yang memberikan suasana kondusif bagi Adit dan teman-teman
frater lainnya untuk berkarya.
Lantas, adakah dukungan atau apresiasi
dari Pemerintah Provinsi NTT? Bukankah ke sana atas nama NTT? Sudah tentu Adit
tidak dapat, bahkan beberapa penulis berprestasi seperti Felix K. Nesi, Mario
F. Lawi, Armien Bell, Dicky Senda dan lainnya yang sudah mengharumkan nama NTT
di mana-mana, masih jauh dari apresiasi pemerintah, baik provinsi, kota maupun
daerah.
“Sejauh ini dukungan langsung tidak
saya alami. Saya mengerti karena saya juga bergerak dalam komunitas Seminari.
Secara pribadi, saya percaya bahwa dukungan yang baik dari pemerintah akan
sangat membantu perkembangan mutu penulis sastra di NTT. Namun, tuntutan yang
keras tanpa diimbangi ketahanan para penulis sendiri untuk berlatih dan
mengelola diri akan sia-sia juga”.
Tanggal 26 Juni hingga 30 Juni 2019,
Adit hadir di MIWF. “Situasi MIWF benar-benar luar biasa. Saya benar-benar
mengalami sebuah perayaan sastra yang menggembirakan. Tema People yang diangkat, kiranya mampu menggambarkan situasi MIWF 2019
yang benar-benar menjadi rumah bagi segenap manusia untuk merayakan seni dan
literasi sebagai bagian integral dari kemanusiaan.”
Adit (kiri - ketiga) saat berbicara dalam sesi emerging writers (Foto: Ist.) |
Panita memang sengaja mengambil tema
tersebut sejak setahun lalu, sebagai persiapan untuk menurunkan tensi sosial
politik yang terlanjur membelah manusia dalam kategori suara pro dan kontra.
Seni mampu membebaskan manusia dari tegangan psikis dan kebencian yang
mengkotak-kotakkan.
“Yang paling mempesona, kehadiran
saudara-saudara difabel yang diakomodasi dengan baik. Mereka punya tempat yang
sama dan setara sebagai pegiat maupun penikmat sastra. Dengan mengusung kegiatan
yang ramah lingkungan zero waste festival,
MIWF 2019 juga mendekatkan isu lingkungan dalam kesadaran peserta”.
Sesi diskusi Adit bersama keempat
teman lainnya dipandu langsung oleh Aan Mansyur dan Sinta Febriani. Diskusi
tersebut seputar alasan mengikuti MIWF, karya dan proses kreatif dalam
berkarya, juga aktivitas seni dalam komunitas masing–masing.
Adit (kiri - ketiga) dan emerging writers lainnya berpose bersama Sastrawan Aan Mansyur (kiri - kelima). (Foto: MIWF/ rumata'artspace) |
“Pada sesi saya, banyak audiens yang
tertawa. Saya dan Ilda adalah dua peserta yang sudah punya pengalaman kegagalan
selama empat kali. Ketika saya mengatakan bahwa hati saya sudah terampil
mengolah sakit hati karena kegagalan, saya berterima kasih kepada MIWF yang
mengaruniakan kesempatan gagal. Itu membuat saya terpacu untuk terus berusaha
dan berpuisi secara baik dan benar, semua peserta menyambut dengan tawa dan
tepuk tangan”. Bahkan Aan mengatakan, “Demikianlah kita kalau mendengar seorang
sastrawan dan calon pastor kalau bicara”.
Adit sempat membacakan puisi TubuhMu Bilangan Tak Terhingga dimana ia
memainkan imaji bilangan dalam kaitannya dengan narasi biblis dan Peristiwa Sedih yang Kesekian sebagai
respon terhadap masalah human trafficking
di NTT. “Saya terharu, penonton mengapresiasi dan turut merasakan situasi
di NTT yang saya gambarkan dalam puisi”.
Aditya Arum saat membacakan puisinya di panggung utama MIWF 2019 (Foto: MIWF/ rumata'artspace) |
Siapkan diri dan karya Anda! Pintu
MIWF selalu terbuka bagi semua. Tradisi berkomunitas kiranya menjadi salah satu
faktor pendukung yang baik. Intinya, jangan berhenti berkarya, entah karena
pencapaian tertentu maupun kegagalan tertentu.
Kupang, 2019
Penulis:
Herman Ef Tanouf
0 Response to "Aditya Arum, Terampil Mengolah Sakit Hati Menuju Event Sastra"
Posting Komentar