Etgar Keret
Lelaki kurus itu ambruk di lantai
kafe. Perutnya sakit, jauh lebih sakit daripada yang pernah ia bayangkan. Tubuhnya
mengejang-ngejang di luar kehendaknya. “Sepertinya, inilah yang akan terjadi
jika kau mau mati,” ia berpikir. “Tapi itu tidak boleh terjadi. Saya masih
terlalu muda, dan sungguh memalukan jika saya mati dalam keadaan begini,
memakai celana pendek dan sandal kodok, di lantai sebuah kafe yang dulunya
sempat hits tapi sekarang tinggal
cerita.” Laki-laki itu membuka mulutnya untuk berteriak meminta pertolongan, tetapi
tidak ada cukup udara dalam paru-parunya untuk menghasilkan teriakan. Cerita
ini bukan tentang dirinya.
Siapakah yang bersalah dalam kecelakaan itu? Foto: www.tabletmag.com |
Pelayan kafe yang mendatangi
laki-laki kurus itu bernama Galia. Ia tidak pernah ingin menjadi pelayan kafe.
Ia selalu bercita-cita ingin menjadi guru. Namun menjadi guru tidak
menghasilkan uang, dan menjadi pelayan kafe cukup menghasilkan. Tidak menghasilkan
banyak memang, tetapi cukup untuk membayar sewa rumah dan beberapa kebutuhan lain.
Tahun itu, ia mengambil kuliah ilmu pendidikan di Universitas Beit Berl. Begitu
mulai kuliah, ia bekerja malam di kafe. Bahkan anjing pun tidak datang ke kafe
pada malam hari, dan ia mendapatkan uang sedikit sekali, tetapi sekolah sangat
penting untuknya. “Apakah anda baik-baik saja?” ia bertanya kepada laki-laki
kurus di lantai itu. Ia tahu bahwa laki-laki itu tidak sedang baik-baik saja, tapi
ia tetap bertanya, tanpa malu. Cerita ini juga bukan tentang dirinya.
“Saya sekarat,” laki-laki itu
menjawab, “saya sekarat, tolong telepon ambulans.”
“Tak ada gunanya,” seorang lelaki
botak berkulit gelap yang duduk sambil membaca rubrik ekonomi berkata. “Butuh
kurang lebih satu jam agar ambulans tiba di sini. Mereka sedang berhemat. Mereka
bekerja tanpa libur akhir pekan sekarang.” Sambil mengatakan itu pada sang
perempuan, ia bangun dan mulai menggendong laki-laki kurus tadi, lalu menambahkan,
“ Saya akan membawanya ke UGD. Mobil saya ada di luar.” Ia melakukan itu sebab
ia adalah laki-laki yang baik, sebab ia adalah laki-laki yang baik dan ia ingin
agar pelayan kafe itu melihatnya. Ia telah bercerai lima bulan yang lalu, dan
sudah saatnya kini ia terlibat dalam sebuah obrolan intim dengan wanita cantik.
Cerita ini juga bukan tentang dirinya.
Lalu lintas macet sepanjang jalan
menuju rumah sakit. Laki-laki kurus yang berbaring di bagian belakang mobil, mengerang
hampir tak terdengar dan melelehkan air liurnya di tempat duduk mobil Alfa
sport milik laki-laki botak berkulit hitam itu. Saat ia bercerai, temannya
memberitahu bahwa ia harus mengganti mobil ukuran keluarga itu dengan sesuatu
yang lain, sesuatu yang lebih ‘bujangan’. Wanita sering menilai lelaki dari
mobil yang ia kendarai.
Jika kau mengendarai mitsubishi itu mengisyaratkan
seorang duda tanggung yang baru bercerai, mencari perempuan untuk menggantikan
lonte yang terakhir ia nikahi. Sedang mobil Alfa sport mengatakan: pengendaranya
adalah laki-laki keren, berjiwa muda, mencari petualangan. Laki-laki kurus yang
kejang-kejang di bangku belakang itu merupakan salah satu jenis petualangan. Laki-laki
botak itu berpikir: “Saya ‘kan seperti ambulans sekarang. Saya memang tidak
punya sirene, tetapi saya bisa membunyikan bel agar mobil lain minggir dan membiarkan
saya lewat dan menerobos lampu merah, seperti di film-film.” Saat ia memikirkan
semua itu, ia menginjak pedal gas dalam-dalam. Saat ia memikirkan semua itu, sebuah
van Renault berwarna putih menghantam mobilnya dari samping. Pengemudi Renault
itu seorang yang taat beragama. Pengemudi Renault itu tidak menggunakan sabuk
pengaman. Kecelakaan membunuhnya saat itu juga. Cerita inipun bukan tentang
dia.
Siapakah yang bersalah dalam
kecelakaan itu? Lelaki botak berkulit gelap yang mempercepat laju kendaraan dan
mengabaikan lampu merah itu? Tidak juga. Pengemudi van yang tidak menggunakan
sabuk pengaman dan mengendarai mobilnya melebihi batas kecepatan? Bukan dia
juga. Hanya ada satu orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Mengapa
saya menciptakan semua orang ini? Mengapa saya membunuh seorang lelaki yang
mengenakan yarmulke1, yang
tidak pernah bersalah kepada saya? Mengapa saya membuat laki-laki imajinatif
itu begitu menderita? Mengapa saya merusak keluarga laki-laki botak berkulit
gelap itu? Kenyataan bahwa kau mengarang cerita tidak membebaskanmu dari
tanggung jawab, dan, tidak seperti hidup nyata, di mana kau bisa menuding Tuhan...
tidak ada alasan di sini. Dalam sebuah cerita, kau adalah Tuhan. Jika sesuatu
yang buruk terjadi pada tokohmu, itu karena kau menginginkannya. Kau ingin melihat dia berkubang dalam
darahnya sendiri.
Istri saya masuk ke dalam ruangan
dan bertanya, “Apakah kau sedang menulis?”. Ia ingin menanyakan sesuatu.
Sesuatu yang lain. Saya bisa melihat itu di wajahnya, tetapi di saat yang sama,
ia tidak ingin mengganggu saya. Ia tidak ingin mengganggu saya, tapi ia sudah mengganggu saya. Saya menjawab ia,
saya menulis, tetapi tidak masalah. Toh cerita ini juga sudah gagal. Ini bahkan
bukan sebuah cerita. Ini sesuatu yang gatal. Ini jamur di bawah kuku jari saya.
Istri saya mengangguk seolah ia mengerti apa yang saya katakan. Ia tidak
mengerti. Namun bukan berarti ia tidak mencintai saya. Ini adalah cerita kami.
Keterangan :
*Yarmulke: penutup kepala yang dikenakan laki-laki yahudi taat
Etgar Keret |
**Etgar Keret adalah seorang penulis Israel. Karya-karyanya
berupa cerita-cerita pendek, novel, dan naskah film. Ia penulis yang diidolakan
banyak penulis. Salah satu bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia berjudul Seven Good Years. Cerita-cerita pendeknya banyak diterjemahkan oleh para penulis Indonesia, bisa anda lihat di sini.
***Terjemahan bebas oleh Felix K. Nesi
0 Response to "Siapa yang Harus Disalahkan Jika Kemalangan Menimpa Orang Baik? | Etgar Keret"
Posting Komentar