“Perempuan Jakarta” bukanlah sesiapa yang pantas disapa siapa. Adanya
hanyalah perempuan dengan tubuh berbalut luka-luka yang jiwanya telah mati
sebelum meninggal. Lalu, abadi dalam puisi. “Perempuan Jakarta”, demikian judul
dari puisi yang ditulis Joko Pinurbo (Jokpin), penyair Indonesia.
Interpretasi Puisi “Perempuan Jakarta”
Sepintas, Jokpin berkisah tentang situasi kehidupan perempuan kota yang
“dihakimi”. Perempuan kota dimaksud bukanlah generalisasi, tetapi secara sosial
memiliki label/ status tertentu. Citraan Jokpin merujuk pada tubuh sebagai
pembeda [alat] kelamin yang darinya melahirkan perbedaan peran sosial.
Lampiran puisi akan dibahas bagian per bagian dengan tetap
mempertahankan keutuhan puisi (unity) dan unsur-unsur pembentuknya. Bait ke-1, sebagai
berikut:
Memang tampak cantik ia
Dengan celana merah menyala.
Senja berduyun-duyun
mengejar petang
mengejar malam.
Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan
dengan air mata yang disembunyikan.
Pada bait pertama ini, Jokpin
membuka puisinya dengan menggambarkan sosok perempuan yang cantik secara fisik.
Di sana ada titik sensual yang mulai ditonjolkan. Perhatikan baris ke-2, Jokpin
mengarahkan pembaca untuk fokus pada tubuh bagian bawah (pant*t) perempuan
tersebut.
Pilihan diksi akan warna celana pun tersirat suatu keberanian tak
terkira. Bahwa “perempuan kota” dalam situasi tertentu [terpaksa] berani
melakukan [pasrah] apa saja untuk mencapai suatu “keterpenuhan”. Situasi
terpaksa dapat dimaknai melalui warna merah
menyala dan didukung oleh rima akhir pada baris ke-1 dan ke-2. Seperti efek
euphony, suara pasrah yang paling.
Di dalam keberanian itu, ada
gelisah yang datang bertubi-tubi. Seberani dan setegar apapun, perempuan
kembali kepada sifat dasarnya. Ialah rasa sebagai unsur yang paling dominan. Waktu
(senja, petang dan malam) yang ditawarkan Jokpin merujuk pada situasi murung,
muram, sayu, gelisah dan juga sedih. Motif dari perasaan-perasaan itu
dipertegas pada baris ke-5 dan ke-6. Seperti “iklan”, senantiasa dipertontonkan
dan ditawarkan kepada siapa saja yang berminat dengan tarif tertentu.
Joko Pinurbo, Penyair (Foto: Istimewa) |
Perempuan yang dicitrakan, mau
tidak mau harus menghadapi budaya massa yang menjajah tubuhnya. Di kota,
tubuhnya dijadikan hiasan/ornamen, komoditi, tontonan murahan di tengah kemeriahan.
Tapi ketahuilah bahwa dalam situasi yang demikian, perempuan berusaha untuk
menyimpan dan menyembunyikan air matanya, itu luka.
Perempuan yang seharusnya
merdeka, benar-benar terpenjara. Sebagaimana kata J. J. Rousseau (Filsuf Perancis)
manusia dilahirkan bebas, tetapi dimana-mana ia dipenjara. Jokpin, selain melalui
kata-kata konkret menampilkan rima akhir yang menimbulkan efek cacophony dengan aura tragis-puitis. Di bait ke-1 ini, Jokpin memberi
stimulus kepada pembaca untuk menghadirkan sosok perempuan (kupu-kupu malam) yang terhakimi. Selanjutnya, perhatikan bait ke-2 berikut:
Di jalanan para demonstran pesta pora
mengibarkan kata mengibarkan celana.
“Ayo kita sergap dia!”
“Ayo tangkap saya!” ia menantang
sambil ia pamerkan pantatnya yang matang.
Mereka lalu mengepungnya,
ingin meraih wajahnya, meraih sakitnya.
mengibarkan kata mengibarkan celana.
“Ayo kita sergap dia!”
“Ayo tangkap saya!” ia menantang
sambil ia pamerkan pantatnya yang matang.
Mereka lalu mengepungnya,
ingin meraih wajahnya, meraih sakitnya.
Pada bait ke-2,
Jokpin menghadirkan situasi timbal balik antara penghakiman massa dan perempuan
yang dihakimi. Sebagaimana demonstrasi pada umumnya, massa selalu membawa
perangkat (poster tokoh dan sejenisnya) dibarengi orasi di sana-sini.
Sebagai teks
sastra, puisi tidak terlepas dari situasi sosial masyarakat. Demikian persoalan
yang diangkat Jokpin tidak terbatas pada manusia [tubuh] imajiner. Sebab ada
relasi timbal balik antara si kreator, karya dan juga masyarakat, sebagaimana
yang dikemukakan Sapardi Djoko Damono.
Perempuan dalam
puisi Jokpin adanya sebagai sosok “terpenjara” atas situasi sosial yang
tercipta. Pada bait ke-2, situasi yang tersirat dalam simbol-simbol adalah
respon sosial terhadap realitas dimaksud (sosiologis). Jokpin seolah mengajak
pembaca untuk kembali merefleksikan “Pericope de Adultera” dalam Alkitab Kristen
tentang kisah perempuan yang kedapatan berzinah. Ada konfrontasi
antara Yesus dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang Farisi terhadap perempuan
yang harus dihukum mati (dilempari batu) karena kedapatan berzinah.
“Barangsiapa di
antara kalian yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama kali melemparkan
batu kepada perempuan itu” (Yoh. 8:7). Boleh dikata, penyair dalam puisinya
tampak memposisikan diri [ungkapan Yesus) dalam dialog dramatis (perhatikan
baris ke-3 dan ke-4 pada bait ke-1). Selanjutnya didukung oleh keterangan [actus]
pada baris ke-5 sampai ke-7.
Jokpin ingin
mengetengahkan bahwa massa (para demonstran) merasa diri paling benar, suci, dan
tidak punya celah dosa. Mereka menginginkan perempuan itu dihukum. Respon
perempuan sebagai manusia tampak menanggalkan otentisitas tubuh. Situasi
menghendakinya untuk tidak menghargai dan memahami tubuhnya. Perempuan dalam
eksistensinya menjadikan tubuh sebagai akar dari masalah sosial yang tengah
dihadapinya. Perhatikan bait ke-3, berikut ini:
“Rebutlah aku!” ia merayu
dan mereka siap menyerbu.
dan mereka siap menyerbu.
Bait ke-3 yang
terdiri dari dua baris ini menggambarkan situasi “pasrah”. Sebab perempuan itu
berjuang sendiri tanpa adanya sosok lain (the other). Irama dalam rima akhir
pun menimbulkan efek euphony. Ialah suara
sendu yang adalah keterwakilan perasaan perempuan tersebut. Berikut adalah
lampiran bait ke-3:
Perempuan pengembara.
Aku telah lihat ia punya rahasia.
Aku telah lihat tailalat kecil di teteknya,
tailalat besar di pantatnya.
Aku telah lihat luka yang dalam dan kekal
di sentral tubuhnya.
Aku telah lihat ia punya rahasia.
Aku telah lihat tailalat kecil di teteknya,
tailalat besar di pantatnya.
Aku telah lihat luka yang dalam dan kekal
di sentral tubuhnya.
Penyair adalah
creator yang tampil sebagai sosok mahatahu. Selain peka dalam mengekspresikan
estetika realitas secara efektif, puisi hanya bisa lahir dari rahim imaji
penyair. Pembaca dalam kapasitas interpretasinya boleh mengandalkan
ambiguisitas. Walaupun di satu sisi, puisi setelah ditulis, dipublikasikan dan
dibaca sepenuhnya menjadi milik pembaca. Tetapi tidak bagi makna yang
sesungguhnya. Oleh sebab itu, (Teeuw, 1980:5) menandaskan “membaca puisi
berarti bergulat terus-menerus untuk merebut makna yang disajikan oleh sang
penyair”. Di sini, merebut makna mengandaikan makna sesungguhnya hanya ada di
isi kepala dan bati penyair.
Pada bait ke-3, pilihan
kata “pengembara” yang dilabeli penyair mengindikasikan perempuan jalanan atau
“kupu-kupu malam”. Ia yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain atau dari
orang [pelanggan] yang satu ke orang yang lainnya. Penyair tahu tentang misery sekaligus misteri tubuh (privasi)
perempuan. Di sisni, penyair hadir sebagai sosok yang mewakili massa. Bahwa
perempuan dalam penderitaannya dibebani lagi oleh amukan massa. Segala privasi seketika
menjadi konsumsi publik. Tanda-tanda, ukuran dan bentuk tubuh yang paling intim
pun diketahui secara detail.
Penyair dalam
beberapa baris puisi memposisikan diri sebagai massa. Mengapa? Karena hanya
penyair yang mampu mengerti, memahami dan merasakan penderitaan perempuan itu.
Massa yang menghakimi hanya melihat perempuan sebagai tubuh (mesin biologis),
tetapi tidak memahami bahwa di dalam tubuh itu ada jiwa yang terluka dan
tersakiti. Aku telah lihat luka yang
dalam dan kekal/ di sentral tubuhnya. Di sini subyektifitas penyair tidak
bermakna egois. Tetapi penyair berusaha keluar dari lingkaran massa yang egois.
Sehingga Jokpin ketika menutup puisinya menggambarkan kegelisahan massa apabila
perempuan itu tidak ada. Perhatikan bait terakhir berikut:
Memang tambah cantik ia
dengan anggur darah di tangannya.
Kota akan kehilangan dia bila ia tak lagi di sana.
dengan anggur darah di tangannya.
Kota akan kehilangan dia bila ia tak lagi di sana.
Kecantikan bisa
mendatangkan luka/ penderitaan. Perempuan yang makin cantik dengan anggur darah
di tangannya, tidak serta-merta menggambarkan tubuh dan penderitaan perempuan
itu sendiri. Tetapi ada situasi lain yang dapat dimaknai. Bahwa penderitaan
yang ada seolah diinginkan massa. Tubuh perempuan senantiasa dijadikan ornamen
kota, sumber hiburan dan sasaran luapan [hasrat] manusia-manusia itu. Tanpanya,
kota akan kehilangan. Ialah kemeriahan di atas penderitaan. Demikian intensi
manusia-manusia bertopeng yang senantiasa menelanjangi tubuh dan melukai jiwa
(batin) perempuan.
Puisi
“Perempuan Jakarta” dan Prostitusi
Puisi
sebagai ekspresi kejiwaan/ batin penyair adalah cermin realitas. Jokpin menulis
puisi “Perempuan Jakarta” untuk membahasakan realitas di tahun 2000. Artinya
sebelum dan sesudah tahun tersebut, prostitusi telah menjadi salah satu problem
utama di bangsa ini. Bahkan jauh sebelum datangnya bangsa penjajah ke
Indonesia, prostitusi sudah marak terjadi. Ditandai dengan adanya tempat di
dalam istana [masa kerajaan] yang meghimpun para janda untuk dilacurkan. Hingga
pada masa pendudukan Hindia-Belanda (1800-an), praktik prostitusi makin meluas
(baca: sejarah).
Beberapa tahun
sebelumnya di tahun 2000-an, prostitusi sempat menjadi topik utama yang
diperbincangkan. Kini di awal tahun 2019, praktik prostitusi kembali muncul
sebagai topik perhatian publik. Berawal dari kasus dugaan prostitusi online
yang dilakukan seorang public figure (selebriti) berinisial VA yang kemudian
merambat ke kasus beberapa pihak lainnya.
Media dalam
berbagai wujud marak memberitakan kasus tersebut. Pemberitaan itulah yang
kemudian melahirkan opini masyarakat dari berbagai kalangan. Semakin tidak
terkendali arah diskusi dengan segala tetek-bengeknya. Sejauh ditilik,
tanggapan-tanggapan tersebut didominasi oleh hujatan, hinaan, kutukan, bahkan
hukuman. Memang, praktik prostitusi sebagai bentuk kejahatan moral pantas
mendapat ganjaran bagi para pelaku, sebab melawan hukum. Tetapi agak berlebihan
ketika sanksi sosial tampak “mematikan”.
Tidak ada bedanya
dengan situasi yang digambarkan Jokpin dalam puisi “Perempuan Jakarta”. Secara
kebetulan, artis tersebut berjenis kelamin perempuan dan media-media sama
perannya seperti billboard. Sedangkan masyarakat termasuk pihak penegak hukum
tiada bedanya dengan aksi massa dalam “Perempuan Jakarta”. Menghakimi secara
tidak etis.
Apalah artinya membina
moral dengan cara amoral? Mungkinkah ini jawaban atas kegelisahan Jokpin bahwa kota akan kehilangan dia bila ia tak lagi di
sana? Setelah VA, siapa lagi yang pantas untuk dihakimi? Apakah semua yang
memberi opini dan komentar sampah adalah manusia-manusia tanpa celah dosa?
Pantaskah warna dan ukuran pakaian dalam bahkan kebutuhan selangkangan menjadi
urusan publik? Bukankah sudah ada proses penghakiman yang layak? Mari, semua
kita berefleksi.
Memposisikan VA
dan pihak lainnya dalam puisi “Perempuan Jakarta” sama saja menambah luka dan
derita yang telah mereka cipta. Sadarlah bahwa tubuh yang ditelanjangi turut
melukai jiwa/ batin mereka.
* * * * *
Insaka, 10 Januari 2019
Penulis, Herman Efriyanto Tanouf
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Kompasiana 10 Januari 2019
Perempuan Jakarta hanya sebuah nama yang mewakili perempuan kota dan desa senusantara bahkan sejagat raya.Soal menabur cinta dan menuai birahi serta membuahkan luka-darah-daging bukan urusan atau tanggung jawab.Tapi ketika perempuan itu telanjang di Jakarta atau di mana- di mana pasti ada lelaki di sekitarnya atau dipeluknya di depan atau memeluk dari belakang bokongnya.Namun menelusuri dan menilai perempuan dalam konteks prostitusi sama seperti opini perempuan di titik nol.Dan di sana lelaki yang mengangkat ekor bukan berarti berada di titik seratus.Karena ketika cinta dan birahi saking suka sama suka atau sekedar karena uang tetap nilainyasakin jika sudah telanjang.Bagi perempuan yang telanjang dan laki-laki yang ikut telanjang secara serentak hanya membuktikan nilai sikap perilaku seksual adalah pakem ketertarikan antara perempuan dan laki-laki sejak zaman purba.Evolusi atau revolusi bentuk ekspresi atau aktualisasinya yang bergonta ganti sesuai situasi kondisi dan domisili.Intisarinya bisa benar bahwa cinta itu buta atau melek tetap nol koma kosong jika tidak berada dan bergerak dalam waktu dan ruang yang tepat di mata umum.
BalasHapus