(Sebuah Refleksi Atas Kencan Buku Fes 2019 Komunitas
Leko Kupang)
Oleh:
Yohanes Agustinus Tuna
Pada hari Rabu tanggal 27 Maret 2019,
dalam rangka menyambut Kencan Buku Fes 2019 Komunitas Leko Kupang,
dilangsungkan diskusi buku di Warung Kopi Biru di samping Kantor Walhi NTT.
Diskusi itu dihadiri oleh sedikitnya 50 orang , baik dari kalangan Aparatur
Sipil Negara, pengajar, aktivis LSM, mahasiswa, pekerja kantoran, seniman, dan
lain sebagainya. Buku yang didiskusikan adalah buku karya Ross Tapsell,
berjudul Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Media
Digital. Ross Tapsell adalah seorang peneliti dari Australian
National University. Untuk menulis buku itu ia melakukan penelitian di
Indonesia selama sepuluh tahun sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2017.
Diskusi itu sendiri menghadirkan pembicara Reinard L. Meo, sastrawan dan redaktur Horizon Dipantara, dengan dipandu oleh Felix Nesi pegiat Komunitas Leko Kupang.
Pose bersama sesudah diskusi buku Kuasa Media di Indonesia. Foto: dok. Komunitas Leko Kupang. |
Lewat buku tersebut Ross Tapsell mencoba menjawab dua pertanyaan besar yaitu: pertama, apa dampak revolusi digital dalam produksi berita dan informasi? Yang kedua, bagaimana perubahan media digital di Indonesia mempengaruhi cara kekuasaan digunakan? Ross mengamati terjadinya kontestasi yang bersifat paradoks. Di satu sisi, digitalisasi media menciptakan sistem media yang sangat oligarkis. Namun di sisi lain, media digital yang sifatnya lebih partisipatif berkekuatan mendorong terwujudnya ‘kontra-oligarki’. Sebagai negara pengguna media sosial terbesar di dunia, warga punya kesempatan untuk melakukan perubahan melalui media digital. Lebih rinci lagi buku ini bercerita tentang bagaimana para politisi memanfaatkan media untuk mencapai tujuannya. Reinard L. Meo membahas buku ini bab demi bab dan menghantarkan peserta kepada diskusi yang panjang, diiringi oleh derasnya hujan.
Ada sangat banyak catatan yang aku bawa
pulang dari diskusi itu. Namun aku terus saja tergelitik dengan pertanyaan dari
seorang sastrawan bernama Saverinus Suhardin dan seorang mahasiswi bernama
Rema. Kira-kira begini pertanyaan mereka:
Di tengah kepungan arus informasi
di era digital ini, bagaimana caranya meningkatkan kesadaran literasi dalam
diri generasi milenial? Bagaimana caranya membedakan mana yang hoaks dan mana
yang benar? Bagaimana caranya membuat generasi milenial sadar akan setiap permasalahan
sosial di sekelilingnya? Apakah ada ruang untuk bebas dari kepungan
informasi?
Buku Kuasa Media di Indonesia. Foto: Toko Buku Fanu. |
Melanjutkan pertanyaan-pertanyaan itu,
seorang seniman lukis NTT yang bernama Mando Soriano juga bertanya, kira-kira:
apakah masih ada ruang untuk bisa bebas dari kepungan informasi di era media
digital ini? Jika setiap hari kita dikepung oleh sekian banyak media dengan
sejuta kepentingannya masing-masing, apakah masih ada ruang yang tersisa untuk
kita?
Steve Tesich, seorang penulis Amerika,
memperkenalkan sebuah istilah untuk menyebut fenomena yang terjadi di era
digitalisasi ini, yaitu Post-Truth Era, atau Era Pasca Kebenaran.
Istilah itu kemudian dipopulerkan oleh Ralph Keyes (2004) dalam bukunya, The
Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. Menurut
Keyes, dulu kita hanya mempunyai sedikit media seperti koran dan televisi.
Sangat sedikit kemungkinan bagi media-media ini untuk menyebarkan berita hoaks,
sebab media-media itu cukup kredibel, dengan jurnalis-jurnalis yang paham akan
dunia tulis-menulis dan cara yang baik dalam menyebarkan berita. Setiap berita
melalui penyuntingan dan cek informasi. Itu membuat masyarakat pembaca paling
kurang hanya mengenal benar atau palsu, jujur atau bohong.
Namun di era ini, masih menurut Keyes,
kita digempur oleh sangat banyak informasi, benar dan palsu, jujur dan bohong.
Kerapkali kita tidak bisa lagi membedakan keduanya. Antara yang benar dan yang
palsu sangat susah untuk dibedakan. Akibatnya, kita kadang mengonsumsi
berita-berita palsu, hoaks, dan lebih parahnya lagi ujaran-ujaran kebencian.
Rm. Hiro Nitsae, salah satu peserta diskusi sedang mengajukan pertanyaan. |
Akun-akun palsu bertebaran di facebook.
Kita mengonsumsi informasi-informasi yang salah dan tidak terverifikasi
kebenarannya. Kita melihat hoaks yang tidak jelas sumbernya. Fakta dan opini
dicampur-baurkan sehingga kadang kita tidak bisa membedakannya. Peristiwa yang
sederhana dan tidak penting diberitakan seolah-olah itu adalah masalah besar
yang penting untuk disaksikan dan diketahui oleh kita. Dalam diskusi tersebut,
Reinard L. Meo berulangkali mengajukan sebuah contoh yang menarik, yaitu bahwa
orang NTT lebih mengetahui informasi tentang malam pertama Lucinta Luna,
daripada informasi tentang perkembangan tambak garam di NTT. Ini semua adalah
akibat dari bencana besar di Post-Truth Era, atau Era Pasca Kebenaran ini.
Usaha Untuk Bertahan
Kita kembali ke pertanyaan diskusi tiga
orang di atas, di tengah kepungan arus informasi di era digitalisasi ini,
bagaimana caranya meningkatkan kesadaran literasi dalam diri generasi milenial?
Bagaimana caranya membedakan mana yang hoaks dan mana yang benar? Bagaimana
caranya membuat generasi milenial sadar akan setiap permasalahan sosial di
sekelilingnya?
Ada sangat banyak cara yang bisa
dilakukan. Gerakan literasi adalah salah satunya. Bahkan boleh dikatakan ini
adalah kunci. Berdasarkan pengertiannya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
literasi tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi
literasi terkait dengan pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau
aktivitas tertentu. Lebih jauh lagi literasi adalah kemampuan individu dalam
mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Untuk mengejar ketertinggalannya di bidang
literasi, Indonesia sendiri mencanangkan enam gerakan literasi dasar yaitu
literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial,
literasi digital, dan yang terakhir literasi budaya dan kewargaan. Ini adalah
literasi dasar. Artinya, lebih jauh lagi dari gerakan membaca dan menulis.
Apa yang paling mendesak dari keseluruhan
semangat literasi ini? Jawabannya tentu saja adalah membaca dan atau berdiskusi
dan atau mencari informasi seluas-luasnya, dengan cara apapun. Anda ingin tahu
tentang cara memelihara kambing? Bacalah buku-buku tentang kambing.
Berdiskusilah dengan juragan kambing. Tontonlah film tentang kambing. Datanglah
ke pasar kambing. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Kencan Buku dan Usaha Untuk Bertahan
Komunitas Leko Kupang sebagai salah satu
komunitas literasi di NTT sebenarnya sedang melakukan hal itu. Membaca dan
berdiskusi. Menurut koordinator Komunitas Leko Kupang, Herman Efriyanto Tanouf,
mereka telah melakukan itu sejak tahun 2017. Di malam minggu mereka membawa
buku ke taman-taman kota, dan menyediakan ruang bagi anak-anak dan pengunjung
taman lain untuk membaca dan berdiskusi. Lebih jauh lagi di pertengahan tahun
ini, yaitu tanggal 4-6 April 2019, mereka akan mengadakan pesta buku, yang
mereka sebut sebagai Kencan Buku Fesek, (disingkat Kencan Buku Fes). Fesek
adalah kata Bahasa Dawan untuk kata pesta. Karena itu adalah pesta, akan ada
juga pertunjukan musik, pameran lukis, lomba membaca puisi dan masih banyak
yang lain.
Agar tidak terjebak di dalam sebuah
perayaan belaka, kita perlu kembali kepada pertanyaan di atas, apakah acara
tersebut akan benar-benar memberikan sumbangsih untuk gerakan literasi di NTT
dan di Indonesia? Apakah dengan membaca dan berdiskusi, kita bisa meningkatkan
kesadaran literasi dalam diri generasi milenial? Bagaimana caranya membedakan
mana yang hoaks dan mana yang benar? Bagaimana caranya membuat generasi
milenial sadar akan setiap permasalahan sosial di sekelilingnya?
Salah satu sesi diskusi di Kencan Buku Fes. Foto: Dok. Komunitas leko Kupang. |
Kita tidak akan pernah tahu jawabannya.
Pembicara dalam diskusi kemarin, yaitu sastrawan Reinard L. Meo, hanya bisa
mengira-ngira. Tak ada yang pernah tahu. Namun aku yakin, bahwa menyediakan ruang untuk berkumpul dan berdiskusi seperti yang dilaksanakan oleh komunitas-komunitas orang muda ini, akan menghantar mereka ke tempat yang kadang tidak mereka duga. Berkumpul dan berdiskusi, di tempat pertama bukan
untuk menjadi pahlawan literasi yang mencerdaskan kota, dengan berpikir bahwa "setiap orang harus membaca buku untuk menjadi cerdas", atau "saya lebih tercerahkan daripada mereka yang tidak membaca buku". Namun berkumpul, berdiskusi dan mengekspresikan segala macam kegelisahan dan sampah di
kepala bisa menjadi tempat untuk menyelamatkan diri. Menyelamatkan
diri dari keputusasaan, menyelamatkan diri dari kepungan arus informasi dan hoaks (menurut pertanyaan Mando
Soriano di atas). Syukur-syukur bisa membuat kita menjadi manusia yang
sesungguhnya, yaitu manusia yang lebih manusiawi.
Penfui, 27 Maret 2019
*Opini ini pertama kali diterbitkan oleh
Harian Victory News, tanggal 1 April 2019, dan kini diterbitkan ulang oleh LekoNTT.com dengan sedikit perubahan.
**Yohanes Agustinus Tuna adalah
alumni Fakultas Ilmu Sosial Universitas Nusa Cendana. Kini bermukim di Baumata
sambil mengasah kemampuan untuk menggoreskan pena.
0 Response to "Kuasa Media dan Usaha untuk Bertahan"
Posting Komentar