SHALAM, Kepala Desa, dan Masyarakat Desa Tunua (Foto: WALHI NTT)
|
Berbagai kegiatan dilakukan dalam moment itu, seperti identifikasi seputar sosial budaya dan ekonomi masyarakat dari sebelum sampai berhentinya penambangan, kerja bakti membersihkan situs budaya yang telah rusak dan kampanye anti tambang. Masyarakat bersama WALHI NTT, Sahabat Alam NTT dan IRGSC mendeklarasikan penolakan tambang jenis apapun di Desa Tunua.
Sesuai dengan kesaksian Kepala Desa dan masyarakat dalam diskusi di lokasi tambang, selama beroperasinya penambangan ada keresahan yang dialami masyarakat. Hal ini dikarenakan kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat setempat tidak ditepati, diantaranya pembuatan aspal di Desa Tunua, pemberian bantuan ke gereja, pembangunan sekolah dan lainnya.
Dampak lain bagi lingkungan adalah erosi tanah sehingga terjadinya
longsor, sumber air yang berkapur dan keruh akibat serpihan-serpihan batu sisa
pahatan, menurunnya debit air, hingga penyakit-penyakit yang dialami dan ternak, serta polusi suara yang
mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar.
Adapun dampak sosial budaya yang
ditimbulkan adalah alih pekerjaan masyarakat dari bertani menjadi buruh tambang. Masyarakat tergiur dengan upah yang diberikan sehingga lahan pertanian
tidak lagi diolah secara baik. Di satu sisi, timbul kecemburuan sosial antar masyarakat akibat
perekrutan pekerja yang tidak menyeluruh dari total jumlah masyarakat yang
mendaftar.
Berbagai dampak negatif yang ditimbulkan
tersebut mengakibatkan konflik horizontal antar masyarakat yang mendukung
maupun menolak adanya tambang. Hal tersebut mendorong masyarakat desa Tunua dan
masyarakat desa tetangga lainnya melakukan penolakan dengan aksi demonstrasi di
pemerintah kabupaten maupun provinsi.
Aksi penolakan ini berlangsung dalam kurun
waktu tahun 2003 sampai 2005. Setelah proses panjang yang dilakukan oleh masyarakat untuk menolak adanya
proses eksploitasi tersebut, akhirnya pada 2008 perusahaan tersebut berhenti
beroperasi. Namun izin PT. SAM sendiri masih berlaku sampai 2030.
Dalam diskusi di lokasi bekas tambang
bersama masyarakat, Umbu Tamu Ridi selaku kepala divisi advokasi dan hukum
WALHI NTT mengungkapkan bahwa ekosistem dapat dianalogikan sebagai tubuh
manusia, dimana batu adalah tulang sedangkan tanah adalah
dagingnya. “Ketika batu dikeruk dari perut bumi, maka tanah tidak akan
kuat akibat hujan yang datang tidak lebih dulu ditampung atau disaring oleh
bebatuan dan pohon namun langsung terus ke hilir dan dapat mengakibatkan banjir
hingga longsor. Batu, hutan dan pegunungan adalah penyangga ekosistem yang
menjaga kestabilan lingkungan, dengan demikian jika sumber daya alam tersebut
dieksploitasi maka ekosistem kehilangan keseimbangan sehingga dapat
mempengaruhi lingkungan hingga sosial budaya masyarakat setempat” ungkapnya.
Diskusi Hari Anti Tambang (Foto: WALHI NTT) |
Selaras dengan pernyataan tersebut perwakilan IRGSC, Ardy Milik menyatakan bahwa
dengan kehadiran tambang apalagi di wilayah masyarakat agraris tentu sangat
menganggu siklus berternak dan siklus bertani masyarakat. “Tambang menyebabkan
air tercemar hingga tanah menjadi tandus tidak bisa ditanami. Maka dengan
naluri sebagai masyarakat agraris yang lebih membutuhkan air dan pangan
akhirnya mendorong masyarakat untuk menolak keberadaan tambang” ujar Ardy.
Ibnu Rifai selaku Ketua Sahabat Alam
mengatakan bahwa berdasarkan identifikasi yang dilakukan masyarakat Desa Tunua
sampai saat ini bisa dikatakan sudah berdaulat di atas tanahnya
sendiri setelah tambang tersebut keluar dari desa. Hasil-hasil
pertanian masyarakat cukup untuk konsumsi pribadi, dan selebihnya dijual untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari mulai dari kebutuhan konsumsi hingga biaya
pendidikan anak-anak. Ia menilai kalau usaha tersebut belum maksimal akibat infrastruktur
jalan yang kurang baik. “Masyarakat tidak mengalami kemudahan akses distribusi hasil pertanian. Dengan
demikian hasil pertanian tersebut dijual dengan harga yang sangat murah, dan
keuntungannya diambil oleh tengkulak yang membeli langsung dari masyarakat’’.
Ungkap Rifai.
Reporter: Virginia Rosa Da Silva
0 Response to "Peringati Hari Anti Tambang, WALHI, Sahabat Alam NTT dan IRGSC Mengunjungi Desa Tunua"
Posting Komentar