“Tidur, Kakak. Kalau capek, istirahat dulu.”
Tempat kerja Charles Manu. Foto: Dok. Pribadi |
Saya sedang berada di Camplong, sesudah berkendara lebih dari empat jam
dari kota Kefamenanu. Cuaca tidak menentu, sebentar panas terik, sebentar
kemudian dingin menyergap dan langit digelayuti awan hitam.
Hujan kelihatannya baru saja pergi dari tempat ini. Aspal basah dan air
tergenang di mana-mana. Saya beruntung tidak didera hujan, tetapi pantat terasa
panas dan kaki kaku tak terasa. Sesudah melewati rimbun bambu dan beberapa
tikungan tajam di hutan Camplong, rumah kecil beratap lontar ini seolah
memanggil saya untuk berteduh. Atapnya hampir sampai ke tanah, tidak
berdinding, dan sebuah dipan terletak di salah satu sisinya. Saya memarkir
sepeda motor dan bertanya dengan sopan kepada seorang lelaki tua di dalam rumah
kecil itu: Bolehkah saya beristirahat sejenak?
Saya meluruskan kaki dan berusaha mengusir kepenatan. Rumah ini terletak
di punggungan gunung – kau bisa melihat bentang alam, dengan rumah penduduk di
kejauhan. Mobil dan sepeda motor melaju melewati turunan, suaranya bergantian
dengan desing gerinda di tangan lelaki tua itu. Sebuah rumah tembok yang belum
diplester berdiri tidak jauh dari situ, rumah tinggal sang pandai besi.
Tak berapa lama saya bangun dan menghampirinya.
“Nama saya Charles. Charles Manu,” begitu ia memperkenalkan dirinya.
“Saya sudah melakukan ini sejak kelas 3 SD. Ayah saya melakukannya. Kakek saya
melakukannya.”
Ia selalu tersenyum – setengah tertawa – di setiap akhir kalimatnya,
membuat ia kelihatan ramah bersemangat dan lebih muda dari usianya. Sesekali ia
menyentuh mata pisau, mengira-ngira ketajamannya. Di sekitarnya berserakan
pisau, parang kebun,maupun kelewang yang baru saja diasah. Pangkalnya
ditajamkan dan dicocokkan ke dalam gagang kayu.
Apakah Bapak pernah mempunyai bos? Saya bertanya lagi. Kebanggaan di
nada suaranya saat menyebut dirinya sebagai tuan atas dirinya sendiri membuat
saya tertarik kepada masa lalunya.
“Saya pernah menjadi tukang bangunan,” katanya.
Itu sekitar tahun 1986 sampai 1988, demikian ia bercerita. Ia pergi ke
Kupang dan diperkejakan seseorang yang berasal dari Bali.
“Kakak tahu gedung di Undana yang ada perahu di atas tu, ko?” ia
bertanya kepada saya. Saya mengangguk meski belum pernah melihat gedung itu.
“Itu kami yang bikin,”katanya dengan bangga.
“Itu adalah masa-masa yang sulit,” kisahnya. “Banyak perempuan yang ikut
bekerja juga. Bikin campuran, pikul pasir… Kami dibayar 1500 rupiah per hari.”
Seseorang menepikan sepeda motornya dan dengan terburu-buru masuk ke
dalam rumah kecil itu.
“Beta pu pesanan mana, Om?”
"Ko su pesan na son jadi kermana?" Foto: Dok. Pribadi |
“Ko parang kemarin tu?”
“Oh, beta pikir sonde jadi lai. Beta su mau jual pi orang.”
“Ko su pesan na son jadi kermana?”
Charles mengambil parang dari para-para dan menerima uang dari orang
itu. Si Orang mengucapkan terima kasih dan berlalu.
“Kalau sedang sehat, berapa parang dan pisau yang Bapak hasilkan dalam
satu hari?” saya merevisi pertanyaan yang tadi tidak mendapatkan jawaban.
“Bisa dua puluh pisau,” Charles menjawab. “Pisau sa (saja).
Yah, itu artinya bisa dapat sepuluh parang.”
“Bapak jual ke mana?”
Ia tersenyum sebentar dan mulai bekerja kembali.Foto: Dok. Pribadi |
Ia tersenyum sebentar dan mulai bekerja kembali. Bunga api memercik.
Bayangan bahwa penampang gerinda itu bisa terlepas kapanpun dan menghantam
wajah saya membuat saya bangun dan menjauh. Saya belum pernah melihat pandai
besi sebelumnya. Bayangan tentang orang yang berpandai-besi hanya datang dari
film pendekar, di mana sang guru membuat pedang pusaka untuk muridnya.
Menumbuk, membakar besi dan mencelupkan ke dalam air, mengeluarkan bunyi wusss
sebelum memukulnya dengan palu. Ada dua besi seukuran paha orang dewasa yang
ditancapkan di ruangan itu, kelihatannya sebagai alas untuk memipihkan besi. Di
bagian yang lain bertumpuk kayu-kayu bekas yang dipakai untuk membikin gagang.
“Darimana besi-besi ini Bapak dapatkan?” saya bertanya ketika ia
berhenti menggerinda.
“Berapa ini mau Bapak jual?” saya bertanya.
“Ah, itu pesanan orang,” ia menjawab. “Kalau
yang itu seratus sa,” ia menunjuk kelewang yang lain.
“Parang itu?” saya menunjuk sebuah parang kebun.
“Tujuh puluh lima.”
“Pisau ini?” saya menunjuk pisau yang berserakan di tanah.
“Lima puluh sa.”
“Cukup ya untuk hidup?” saya bertanya.
“Yah… Beginilah hidup,” ia menjawab lalu menyambungnya dengan tawa.
“Saya punya tiga anak,” ia berkata kemudian. “Yang pertama lulus dari
Undana. Sekarang kerja di bank, di sorong. Saya baru pulang dari sana tiga
minggu yang lalu.” Ia berhenti sejenak dan tersenyum dengan bangga. “Yang kedua
masih kuliah di Bandung. Kakak lihat alat itu?” Ia menunjuk sebuah benda di
samping saya. “Itu alat untuk kipas api. Waktu saya ke Bandung, kunjungi anak
saya, saya lihat kok orang-orang di Bandung pakai itu. Ya saya
beli. Dulu saya pakai ini untuk kipas api (ia menunjuk alat lain
yang terbuat dari roda sepeda). Susah pakai ini. Kita harus punya karyawan yang
bertugas memutarnya.”
Saya mendekati dua alat itu dan mengambil gambar.
“Anak yang ketiga baru lulus SMA. Mau jadi tentara dia,” Charles berkata lagi.Saya mengangguk dan tiba-tiba baterai gawai saya mati. Saya belum sempat
mengambil beberapa gambar lain.
“Sekolah anak-anak Bapak biayai dengan pekerjaan ini?” saya bertanya.
Ia tertawa dengan bangga.
“Saya tidak begitu suka bekerja dengan orang lain,” katanya. “Serba
salah! Tidak kerja juga salah… Kerja sedikit juga salah. Harus ada target,
harus kerja sepanjang waktu.”
Saya tertawa dan membuang pandangan. Di rumah tinggal yang belum
diplester itu seorang perempuan tua yang mengenakan daster sedang mencuci
beberapa pakaian.
Saat saya berpamitan Charles menatap saya dengan sungguh-sungguh:
"Jalan hati-hati, Kak. Kalau capek, istirahat dulu."
0 Response to "Kalau Capek, Istirahat Dulu - Wawancara Felix Nesi bersama Pandai Besi Charles Manu"
Posting Komentar