Oleh: Benjamin Bahan dan Elizabeth Parish dalam Gary L, Albrecht (General Editor). Encyclopedia of Disability.
London: SAGE Publications, 2006, halaman 349-352
Terjemahan Indonesia: Ifana Tungga *
Ilustrasi: Nancy Rorke (Seniman Tuli) |
Mendefinisikan Budaya
Budaya mungkin
adalah salah satu gagasan yang paling sulit untuk dipahami sepanjang sejarah.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Raymond Williams, budaya adalah
“salah satu
dari dua atau tiga kata paling sulit di dalam bahasa Inggris. Hal ini sebagian dikarenakan
sejarah perkembangan kata ini dalam beberapa bahasa Eropa, tetapi terutama
karena kata ini digunakan untuk konsep penting dalam beberapa disiplin
intelektual yang berbeda, dan beberapa sistem pemikiran lainnya yang tidak
cocok.” (sebagaimana dikutip dari Ladd 2003:197)
Telah ada
banyak usaha untuk mendefinisikan konsep ini, dan tak ada satu pun definisi
yang sama. Tulisan ini tidak bertujuan untuk mendefinisikan kembali gagasan
mengenai budaya yang rumit. Sebaliknya, tulisan ini bermaksud membangun di atas
sudut pandang yang sudah ada mengenai budaya sebagai “cara hidup”
sekelompok orang, yang melibatkan “praktek kebudayaan” yang berfungsi untuk
menandakan, atau untuk “memproduksi makna,” di mana di dalamnya termasuk
praktek di Amerika Serikat seperti musik pop, opera sabun, dan komik (Storey
1998:2). Atau dengan kata lain, “sekelompok mekanisme kontrol – rencana, tata
cara, aturan, instruksi… untuk pengaturan perilaku” (Geertz 1973: 44). Dengan
demikian “berdasarkan definisinya, budaya adalah sistem yang sangat spesifik
yang menjelaskan berbagai hal maupun mengharuskan bagaimana hal-hal ini harus
dikenal” (Padden dan Humphries 1988:24).
Budaya Tuli
Bagaimanapun
kita mendekati budaya tuli, budaya ini menunjukkan hubungan dengan sekelompok
khusus orang dengan cara hidup, perilaku, cara berinteraksi, sistem
kepercayaan, dan sistem pengetahuan serta proses belajar mereka.
Cara Visual dalam Ber-ada:
Linguistik
Di Amerika
Serikat, dan di dunia secara umum, budaya mayoritas (budaya dengar) memfokuskan
keadaan tuli sebagai sebuah masalah kehilangan pendengaran, menekankan gagasan
bahwa orang tuli adalah orang yang kekurangan sesuatu. Tetapi, bagi anggota
budaya Tuli, mendengar bukanlah hal utama, mereka juga tidak melihat diri
mereka kehilangan salah satu faktor identitas. Orang tuli memiliki sistem nilai
yang menyingkapkan fondasi yang berbeda – bukan sebuah nilai yang didengar,
tetapi sebuah nilai yang dilihat. Edward Hall (1982) menujukkan bahwa
“orang-orang dari budaya berbeda tidak hanya berbicara bahasa yang berbeda,
tetapi mungkin yang lebih penting adalah, mewarisi dunia sensorik yang berbeda”
(hal. 2). Sebagaimana yang disampaikan oleh George Veditz (1912), seorang
pemimpin tuli di awal abad keduapuluh, orang-orang tuli “sejak awal, akhir, dan
bahkan sepanjang waktu, adalah orang-orang mata” (hal. 30) Cara visual dalam
ber-ada bagi orang-orang tuli melekat dan ada dalam seluruh aspek kehidupan
mereka. Fondasi keber-ada-an ini adalah sistem komunikasi visual mereka.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Bahan (2004), “Orang-orang tuli, ber-ada di
dalam varietas manusia, yang menolak untuk direduksi dalam hal status mereka, menemukan
cara untuk berkomunikasi secara visual dan mengembangkan bahasa visual. Ini
adalah esensi dari keber-ada-an mereka. Semua hal lain dikonstruksikan di
sekitar hal ini, disalurkan melalui dan oleh penglihatan” (hal. 3).
Keberadaan dan
penggunaan sistem komunikasi visual gestural oleh orang-orang tuli telah
terdokumentasikan sejak zaman Yunani kuno. Dalam Cratylus, Socrates memberikan
sebuah pertanyaan pada Hermogenes, “Jika kita tidak memiliki suara atau
telinga, dan ingin berbicara satu sama lain, bukankah kita, seperti orang tuli
dan bisu, membuat isyarat-isyarat dengan tangan dan kepala dan seluruh tubuh
kita?” (Plato 1961:457).
Berdasarkan penelitian, seorang anak tuli yang lahir dimanapun di
dunia ini, ketika dia bertumbuh akan mengembangkan isyarat-isyarat rumahan
dengan maksud mengekspresikan dirinya, baik jika dia dikelilingi bahasa visual
ataupun terisolasi dari komunikasi reguler diantara mereka yang mendengar dan
berbicara. Perkembangan ini menunjukkan proses penerimaan bahasa natural. Hal
ini adalah cara ber-ada dari orang-orang tuli, tanpa perlu ada intervensi dari
masyarakat (Lih. Lane, Hoffmeister, dan Bahan 1996; Goldin-Meadow 1985, 2003).
Ketika sekolah-sekolah Tuli dibangun, orang-orang tuli yang berbeda dengan
isyarat-isyarat rumahan berbeda dikumpulkan. Hal ini mengizinkan mereka untuk
memunculkan dan mengembangkan isyarat-isyarat tersebut ke dalam sistem
linguistik yang utuh. Beragam bahasa isyarat di dunia, seperti French Sign
Language dan Nicaraguan Sign Language, lahir dari situasi seperti
ini (lihat beragam esai di dalam Lane 1984; Social, Behavioral and
Economic Sciences 2004). Dalam menggunakan bahasa isyarat, bahasa bukan saja
diproduksi oleh tangan dan dipahami dengan mata yang menujukkan kekuatan visual
yang utama dari orang-orang tuli. Bahan menjelaskan, “Pengguna bahasa isyarat
menunjukkan beragam ciri kinestetik yang digambarkan secara visual: tubuh,
kepala, tangan, lengan, ekspresi wajah, dan ruang fisik yang mengelilingi
pengguna bahasa isyarat dan matanya” (hal. 4). Seiring berjalannya waktu,
mereka juga mengembangkan beragam adaptasi untuk penglihatan dan visualitas,
dan diantaranya kita melihat peningkatan sakkadik (pergerakan mata yang cepat)
dan gerakan kepala, peningkatan penglihatan di sekelilingnya, penggunaan
berlapis-lapis dari pandangan mata untuk memberikan dan menerima fungsi
komunikatif dan linguistik (untuk informasi lebih lanjut, lihat Bahan 2004).
Di Amerika Serikat dan
Kanada, American Sign Language (ASL) adalah contoh lain dari bahasa
isyarat yang berakar dalam komunikasi visual gestural, seperti disebutkan di
atas, yang berkembang ketika orang-orang tuli dikumpulkan di sekolah tuli
pertama di Amerika Serikat beberapa saat setelah permulaan abad kesembulan
belas. ASL saat ini adalah sebuah bahasa yang “memiliki tata bahasa, dengan
aturan kata dan formasi kalimat” (Lane et al. 1996:43) dan adalah “sebuah
simbol identitas sosial, sebuah medium interaksi sosial, dan sebuah gudang
pengetahuan budaya” bagi Dunia-Tuli (Lane et al, 1996:67).
Cara Visual dalam Ber-ada: Cara
Hidup
Esensi
visual dari orang tuli tidak hanya dilihat dalam keberadaan bahasa isyarat.
Penelitian menunjukkan bahwa, “diantara orang-orang tuli yang menggunakan
bahasa isyarat, peran penglihatan dan penggunaan mata meluas secara
eksponensial” (Bahan 2004). Dengan demikian, cara visual dalam ber-ada yang
baru saja didiskusikan “dibawa ke dalam kehidupan kultural, nilai-nilai,
kesadaran, ruang sosial, dan literatur para pengguna bahasa isyarat” (Bahan:
2004). Hal ini dikarenakan fakta bahwa saat bahasa berkembang dalam
kompleksitas, aturan mengenai keterlibatan di dalamnya secara natural mulai
terbentuk. Dengan kata lain, standar mengenai bagaimana bahasa digunakan dan
pembatasan sosio-kultural untuk penggunaan bahasa dikembangkan ketika bahasa
itu menjadi lebih dan lebih berbelit-belit.
Dari
aturan budaya keterlibatan ini, sistem nilai dan perilaku mulai muncul seiring
berjalannya waktu. Dengan demikian, misalnya di dalam budaya Tuli Amerika,
banyak nilai-nilai yang diekspresikan berhubungan secara langsung dengan
gagasan mengenai Tuli yang memiliki orientasi visual. Dalam sebuah teks
terkenal mengenai studi tuli, A Journey into the DEAF-WORLD, penulis
menyatakan bahwa nilai-nilai dari budaya Tuli “disimpan di dalam bahasa
isyarat, untuk diteruskan dari generasi ke generasi” (Lane et al. 1996:70).
Dengan demikian, masing-masing nilai berkaitan secara langsung dengan bahasa
visual yang digunakan untuk menyampaikan nilai ini. Nilai-nilai dari budaya
Tuli Amerika termasuk identitas keberadaan, pemikiran, dan perilaku seperti
seorang tuli ketika berada dengan orang tuli lainnya. Orang tuli juga
menghargai bahasa isyarat mereka dan memiliki kecenderungan untuk membuat
keputusan secara berkelompok, timbal-balik, dan hubungan mutual sebagai bagian
penting dari bagaimana mereka mempercayai mereka harus berinteraksi satu dengan
yang lain. Sebagai bagian dari nilai budaya timbal-balik, kita dapat menemukan
orang tuli berbagi beragam strategi adaptif untuk menjadi seorang visual di
dunia yang dominan dengan audio melalui narasi pengalaman pribadi. Contoh dari
strategi adaptif seperti ini adalah bagaimana untuk menyadari cara suara memantulkan
tanda-tanda visual, dan seterusnya (Bahan, akan terbit, 2004). Budaya Tuli juga
menghargai informalitas dan kontak fisik, bersama dengan promosi kesatuan
diantara anggota komunitas ini.
Cara Visual dalam Ber-ada: Ekspresi
dan Tempat Budaya Tuli
Bagian
sebelumnya berefleksi mengenai gagasan bahwa budaya itu sendiri dapat dipahami
sebagai sebuah sistem adaptasi dimana orang-orang “menghubungkan komunitas
mereka dengan seting ekologis” (Keesing 1974:74 sebagaimana dikutip di dalam
Ladd 2003:201), dan mereka melakukannya untuk bertahan (Meggers 1971:4
sebagaimana dikutip di dalam Ladd 2003:202). Ini menuntun kita meneliti beragam
lingkungan, tempat, dan situs dimana cara budaya visual ini diekspresikan.
Ada beragam
organisasi yang dijalankan oleh dan untuk orang tuli di level lokal, kota,
regional, nasional, dan internasional. Organisasi-organisasi ini, termasuk
asosiasi dan institusi atletik, sosial, keagamaan, pendidikan dan politik,
memiliki beragam tujuan dan peran dalam kehidupan orang-orang tuli. Beberapa
contoh di Amerika Serikat adalah klub Tuli lokal, sekolah residensi Tuli,
asosiasi orang Tuli, USA Deaf Sports Federation (USADSF), National
Congress of Jewish Deaf, National Association of the Deaf (NAD), dan World
Federation of the Deaf (WFD) (untuk informasi lebih lanjut, lihat Lane et
al. 1996:131-138).
Orang tuli yang
bertumbuh di sekolah residensial seringkali melihat sekolah sebagai rumah
mereka dan melihat teman kelas, kawan sebaya, dan mentor tuli sebagai
“keluarga” besar mereka. Dengan demikian, sekolah Tuli lebih dari sekedar
tempat pendidikan. Sekolah ini seringkali menjadi tempat pertama orang tuli
menjadi bagian dari dunia visual dan sebuah tempat dimana mereka mulai
mempelajari bahasa isyarat. Sebuah rasa kekudusan biasanya melekat pada tempat
ini. Banyak orang tuli kembali setiap tahun untuk reuni, bermain sepak bola,
dan acara khusus lainnya. Banyak orang tuli setelah lulus akan tinggal di
tempat dekat sekolah dimana mereka bertumbuh, mempertahankan hubungan dekat
dengan sekolah mereka (Lane et al. 1996:70-71).
Sebagaimana
yang ada dalam semua budaya, Dunia-Tuli juga memasukkan dan menghargai cara
artistik dalam ekspresi mereka. Di tempat-tempat komunitas ini, kita dapat
menemukan kekayaan sejarah literatur ASL. Literatur ASL memasukkan beragam
genre, termasuk cerita, puisi, cerita rakyat, legenda, anekdot, alegori. Di
dalam Dunia-Tuli, ada pencerita, penyair, dan komedian yang dikenal karena
kemampuan mereka. Mereka dipanggil untuk tampil di berbagai tempat. Banyak
pekerja seni tuli berkeliling dunia menghibur dan menginspirasi penonton tuli
maupun dengar, sekaligus menyebarkan budaya, bahasa, dan sejarah Tuli melalui
cerita dan puisi mereka.
Tempat lain
dimana budaya visual dari orang tuli, bersama dengan sejarah dan bahasa mereka
dikembangkan adalah melalui teater tuli. “Penampilan pertama dari aktor tuli
menyangkut tema Duna-Tuli di Amerika Serikat mungkin berasal dari pertengahan
abad kesembilan belas di sekolah residensi, dimana pertunjukkannya berkisar
antara kehidupan sekolah Tuli, sejarah Tuli, dan situasi keluarga Tuli” (Lane
et al. 1996:145). Pada tahun 1940an, Universitas Gallaudet mulai menyediakan
kelas drama formal, dan aktor-aktor tuli menemukan National Theatre of the
Deaf (NTD) pada tahun 1967. Setelah hadir hampir 40 tahun, NTD telah
melakukan lebih dari “lima puluh musim tur dan dua puluh delapan tur luar
negeri, dan lebih daripada 6.000 penampilan dari lima puluh produksi dan menerima
beragam penghargaan untuk karya mereka” (Lane et al. 1996 145-147; Peters 2000).
Salah satu dari penampilan mereka yang paling terkenal memiliki dampak yang
sangat besar pada persepsi mengenai ASL dan budaya Tuli. Penampilan ini
berjudul My Third Eye, terdiri dari lima bagian menyangkut ASL dan orang
tuli. Baik NTD dan teater tuli lainnya memiliki dampak besar bagi orang tuli
tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di seluruh dunia (Lane et al. 1996
145-147; Peters 2000).
Akhirnya, salah
satu cara mengekspresikan budaya visual Tuli ditemukan dalam seni tuli yang
memiliki beragam tema tuli, seperti kebanggaan dan keindahan identitas tuli,
ekspresi frustasi atau kemaharan berkaitan dengan penindasan yang mereka alami
seumur hidup, dan gambaran visual yang menunjukkan pengalaman tuli di dunia
dengar. Pada tahun 1989, selama Deaf Way International Conference di
Washington, D.C., sembilan pekerja seni tuli berkumpul dan membuat sebuah
manifesto menyangkut seni tuli, menamakan bentuk seni ini De’VIA (Deaf
View/Image Art), “berarti sesuatu yang ‘menggunakan elemen seni formal dengan
maksud untuk mengekspresikan pengalaman budaya atau fisikal Tuli.’ Manifesto
ini menjelaskan bahwa De’VIA seringkali berfokus pada tangan dan wajah” (Lane
et al. 1996:140). Seni tuli dapat dilihat di banyak tempat, koleksinya yang
besar disimpan di Universitas Gallaudet dan ditunjukkan di beragam lokasi di
sepanjang kampus (untuk informasi lebih lanjut, lihat Sonnenstrahl 2002;
www.deafart.org). Seni tuli mengizinkan pekerja seni tuli untuk mengekspresikan
siapa mereka, juga sekaligus menunjukkan secara visual bahasa, budaya dan
pengalaman mereka. Dalam melakukan hal ini, orang tuli lainnya menemukan
sesuatu yang berkaitan dengan mereka, yang dapat menginspirasi mereka, dan
menemukan sebuah bentuk seni yang merefleksikan kehidupan mereka.
Contoh-contoh ini
memberikan gambaran umum mengenai cara budaya Tuli sebagai sebuah budaya visual
diekspresikan. Gambaran-gambaran ini memberikan kepada kita contoh dari apa
yang disebut oleh Padden dan Humphries sebagai pusat Tuli, mengacu pada sudut
pandang yang berpusat pada-Tuli dan bukan berpusat pada-dengar, “dimana TULI,
dan bukan DENGAR, dilihat sebagai poin inti untuk referensi” (hal. 41).
Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang pemimpin komunitas tuli,
Ketika saya
melihat ke belakang, saya tidak bisa tidak memikirkan berbagai kemungkinan “bagaimana
jika.” Karena membutuhkan waktu yang begitu lama untuk mengakui peran
penglihatan dan bahasa isyarat dalam kehidupa orang Tuli. Banyak generasi
pengguna bahasa isyarat telah dibelenggu dalam sebuah masyarakat yang dimabukkan
oleh ideologi bahwa berbicara adalah bahasa dan begitupun sebaliknya. Adalah
hal yang luar biasa bahwa dengan semua penyimpangan ini, orang tuli telah
berkembang menjadi salah satu kelompok paling visual dari orang-orang di Bumi.
Kita membayangkan kemungkinan apa yang akan terjadi jika mereka diizinkan untuk
menjalani kehidupan tanpa dibatasi… seberapa jauh umat manusia dapat melampaui
batas penglihatan? (Bahan 2004: 21)
Budaya Tuli dan Budaya Mikro
Berdasarkan
penjelasan mengenai orang tuli sebagai orang visual, mungkin terlihat bahwa
budaya Tuli berasal dari sebuah komunitas yang secara utuh terpisah dan dapat
memenuhi diri mereka sendiri. Tetapi sesungguhnya bukanlah demikian. Dalam
karya terbarunya Understanding Deaf Culture: In Search of Deafhood,
Paddy Ladd (2003:224-225) menunjukkan gagasan mengenai budaya Tuli sebagai
sebuah budaya minoritas yang terwujud di dalam budaya mayoritas. Demikian juga
Graham Turner menjelaskan bahwa orang tuli dan budaya mereka adalah sebuah
budaya minoritas dalam komunitas budaya bicara mayoritas. Akibatnya kebanyakan
anggota budaya Tuli menjadi orang bikultural, dalam pengertian mereka berbagi
nilai dan bahasa dari budaya yang lebih besar tetapi juga memiliki bahasa dan
nilai dari budaya lain di dalamnya. Sebagaimana yang dijelaskna Turner
(1994:98), orang tuli, tak peduli dimana mereka tinggal, “berbagi kesamaan
yang sedikit maupun banyak dalam budaya lebih besar di dalam bangsa, wilayah
atau suku darimana mereka berasal.” Dengan demikian, budaya Tuli tidak dapat sungguh-sungguh
dipisahkan dari budaya dengar dimana budaya tuli merupakan bagian darinya
(hal.98). Deskripsi struktural ini berhubungan dengan definisi budaya mikro
yang diajukan oleh Spradley dan McCurdy (1987), yang menjelaskan budaya mikro
sebagai “sub-sistem karakteristik pengetahuan budaya dari sub-kelompok di dalam
komunitas yang lebih besar. Anggota dari budaya mikro biasanya akan berbagi apa
yang mereka ketahui dengan semua orang dalam komunitas yang lebih besar, tetapi
akan memiliki sebuah pengetahuan budaya khusus yang unik di dalam sub-kelompok
itu… Pengetahuan bersama inilah yang membuat budaya mikro mereka” (hal. 13
dalam Turner 1994a:113).
Tetapi
pendekatan ini juga diperumit dengan fakta bahwa budaya Tuli tidak dapat
dibandingkan dengan budaya mikro lainnya, seperti budaya mikro pesepeda atau
budaya mikro punk. Faktor rumit yang ada dalam melakukan analisis budaya Tuli
dan budaya mikro adalah fakta bahwa ada bahasa lain yang digunakan dan telah
menuntun pada penciptaan budaya Tuli. Tetapi adalah benar bahwa orang tuli
tidak menjalani kehidupan yang terpisah sama sekali. Mereka biasanya bilingual
dan bikultural dalam derajat tertentu, dan biasanya menjadi bagian dari budaya
mayoritas. Masalah bahasa adalah alasan studi budaya Tuli tidak jatuh ke dalam
kategori studi budaya manapun yang ada saat ini. Dengan demikian, sebuah
pendekatan yang kreatif dibutuhkan untuk mempelajari budaya Tuli (Ladd
2003:208). Mungkin gagasan bahwa “orang dari budaya berbeda… mewarisi dunia
sensorik yang berbeda” (Hall 1982:2) dipasangkan dengan gagasan mengenai budaya
Tuli sebagai sebuah budaya mikro adalah salah satu pendekatan itu.
*Ifana Tungga, Mahasiswi semester VIII Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Terpanggil untuk mendalami isu disabilitas dan sedang mengerjakan skripsi berkaitan dengan misi Gereja untuk orang-orang dengan disabilitas khususnya bagi teman-teman tuli. Saat ini sedang belajar bahasa isyarat bersama teman-teman tuli. Waktu luang diisi dengan belajar Bahasa Inggris di Kelompok Children See Children Do (CSCD). Dapat dikunjungi juga di ifanatungga.wordpress.com.
😂👍👍👍👍
BalasHapusKeren 👍
BalasHapusKeren 👍
BalasHapus